Mayoritas Di Atas Minoritas

Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.

Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.

Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.

Jumat, 13 Mei 2011

KEMERDEKAAN PERS TERUS DIGELORAKAN

Konvensi media massa yang di gelar dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) di hotel Oriental Kupang beberapa waktu lalu dihadiri oleh Dewan Pers,Bagir Manan, ketua DPR RI Marzuki Ali, Menteri Komunikasi dan Informatika,Tifatul Sembiring dan berbagai elemen media massa dan wartawan dari berbagai daerah di Indonesia. Perayaan konvensi media massa ini di buka oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya.

Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan di Kota Kupang yang berlangsung dari tanggal 8-11 Februari 2011. Provinsi Nusa Tenggar Timur dipercayakan sebagai tuan rumah dalam peringatan HPN ini. Sebuah kebanggaan besar bagi masyarakat NTT karena perayaan akbar untuk berbagai elemen media massa tingkat nasional di selenggarakan di NTT. Dalam momentum perayaan HPN ini diselenggarakan sebuah event konvensi media massa yang berlangsung pada tanggal 9 Februari 2011 bertempat di hotel Oriental-K

upang.
Dalam konvensi itu Ketua Dewan Pers, Bagir Manan mengatakan bahwa kebebasan pers yang digelorakan selama ini bukan berarti tidak ada masalah tentang kemerdekaan pers. Selain hambatan dan ancaman yang ditemui baik langsung maupun tidak langsung misalnya hambatan menjalankan tugas jurnalistik, kematian wartawan yang sedang menjalankan tugas-tugas jurnalistik tetapi lebih insiplit lagi pers mendapatkan persoalan besar lain yang bersumber dari pertanyaan bahwa apakah makna dari kebebasan pers, untuk apa kebebasan pers dan bagaimana memelihara dan mempertahankan kemeredekaan atau kebebasan pers. Untuk itu pers dituntut harus tetap bertanggung jawab dan disiplin. “Kebebasan pers bukan berarti tidak ada masalah, namun masih banyak persoalan besar yang dihadapi baik langsung maupun tidak langsung. Pers harus menggunakan kemerdekaanya dengan penuh tanggung jawab dan disiplin yang ditunjukan dengan taat kepada hukum., senantiasa menjujung tinggi etik, independen, seimbang, check dan recheck dan syarat lain sebuah profesi”, kata Manan. Di akhir paparannya Manan juga menghimbau seluruh insane pers agar tetap meraut pensilnya, untuk meniadakan segala kenyataan yang tidak menyenangkan itu, pers tidak boleh berdiam diri. Sebagai pilar keempat dari demokrasi, pers tidak boleh ikut-ikutan apalagi menjadi bagian dari system pengelolaan kekuasaan, menjalankan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Pers dituntut untuk memelihara tujuan berbangsa dan bernegara.
Dalam konvensi pers ini, Menkominfo, Tifatur Sembiring menitipkan sebuah pesan singkat kepada komunitas pers agar dalam kondisi keterbukaan dan kebebasan pers ini tetap mencermati berbagai hal yang berhubungan denga pemberitaan agar tidak menimbulkan persoalan yang komplikated. “Bahwasanya apapun kondisi keterbukaan dan kebebasan pers ini tentu saja ada beberapa hal yang perlu dicermati agar suatu saat tidak menimbulkan persoalan yang sangat komplikatif”, imbuhnya.
Penyelanggaraan konvensi ini di buka oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya setelah itu dilanjutkan dengan pemaparan makalah oleh Gubernur sendiri. Dalam pemaparan makalah setebal 8 halaman itu, Gubernur menyampaikan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai provinsi kepulauan dan mencoba menggali dan mencari landasan hukum Daerah Kepulauan sehingga memberikan kontribusi bagi revisi UU.32/2004. NTT yang memiliki luas lautan melebihi daratan jika dijadikan provinsi kepulauan maka akan sangat menguntungkan. Hal ini dikarena sebuah provinsi kepulauan akan mendapatkan quota alokasi anggaran dihitung berdasarkan luas lautan. “Luas lautan NTT lebih besar dari luas daratan, sehingga NTT jika dijadikan provinsi kepulauan maka akan sangat menguntungkan karena alokasi angggaran diperhitungkan berdasarkan luas lautan” papar Lebu Raya. Dukungan Sumber Daya Alam (SDA) juga mempengaruhi upaya menjadikan sebuah provinsi sebagai provinsi kepulauan. NTT cukup banyak memiliki potensi sumber daya laut yang dapat dijadikan sebagai factor pendukungnya.
Frans Lebu Raya dalam pemaparan makalahnya menyampaikan juga usaha-usaha produktif masyarakat di bidang kelautan misalnya budidaya rumput laut, budidaya ikan dan sebagainya. Usaha ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah. “Masyarakat NTT telah banyak melakukan usaha penangkapan ikan dan budidaya laut, namun perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dengan provinsi kepulauan maka dukungan itu otomatis akan diberikan secara optimal”, ungkapnya. Dalam paparanya itu Lebu Raya menyatakan tekad menjadikan NTT juga sebagai provinsi jagung, ternak, koperasi dan cendana. Di penghujung paparannya Gubernur meminta dukungan kepada semua pihak untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan NTT sebagai provinsi kepulauan. “Kami meminta dukungan kepada semua pihak dalam mewujudkan impian masyarakat NTT menjadi provinsi kepulauan yang diperkuat dengan sebuah landasan hukum yang tegas” imbuhnya.
Dalam konvensi media massa ini, hadir pula anggota DPR RI, Marzuki Ali yang membawakan materi tentang Provinsi Kepulauan Problematika dan Tantangannya. Dalam paparannya Marzuki Ali menyampaikan berbagai tantangan untuk perwujudan sebuah provinsi menjadi provinsi kepulauan diantaranya adalah peraturan perundangan yang tidak mendukung tentang provinsi kepulauan, kekurangmampuan dan ketidakreatifan pemerintah melihat potensi yang ada di wilayahnya, distribusi anggaran yang tidak merata dan factor lainnya. Marzuki Ali juga mengatakan bahwa Undang-Undang tentang provinsi kepulauan lembaga kehormatan DPR akan siap mengakomodir yang penting komperensif. “DPR akan siap mengakomodir UU tentang provinsi kepulauan asalkan komperensif”, katanya.
Dengan penghujung konvensi media massa ini juga dilakukan lounching buku karangan terbaru yang ditulis oleh wartawan dengan judul “Wartawan Menulis Kenapa Tidak”.

RASIO ELETRIFIKSI DI NTT AKAN MENINGKAT DI TAHUN 2011


Tahun 2011 akan dilakukan peningkatan rasio elektrifikasi pengguna jasa Perusahan Listrik Negara (PLN) 70% hingga 75 % di provinsi NTT. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PLN, Dahlan dalam acara konvensi media massa beberapa waktu lalu di Hotel Oriental-Kupang dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diselenggarakan di Kupang.

Nusa Tenggara Timur sebagai tuan rumah dalam perayaan HPN membawa dampak positif bagi pengembangan dan kemajuan pembangunan di NTT. Salah satunya adalah rasio eletrifikasi yang akan meningkat hingga 75% di tahun 2011. Hal ini disampaikan oleh Dirut PLN, Dahlan dalam acara Konvensi Media Massa beberapa waktu lalu di hotel Oriental-Kupang dalam rangka peringatan HPN. Dirut PLN menjanjikan adanya peningkatan rasio elektrikfikasi bagi masyarakat pengguna jasa PLN di NTT. “Kami akan melakukan peningkatan rasio elektrifikasi bagi masyarakat pengguna jasa PLN di NTT pada tahun 2011 ini. Rasio yang rendah selama ini berkisar antara 5% hingga 35 % akan ditingkatkan menjadi 70% hingga 75% di semua kabupaten se NTT”, ungkapnya.
Sebuah terobosan baru yang dilakukan oleh PT PLN di Indonesia yaitu menerapkan Sistem Listrik Kepulauan yang belum pernah di terapkan di negara manapun. Terobosan baru menggunakan energi matahari sebagai sumber listriknya. Sudah ada lima pulau yang telah diujicobakan system baru ini, misalnya pulau Bunaken termasuk juga di NTT dan di NTT sendiri telah dilakukan ujicoba di pulau Sumba. Dirut PLN juga menjelaskan hasil ujicobanya dimana di pulau Bunaken rasio ditingkatkan sehingga listrik menyala selama 24 jam sedangkan di Sumba sendiri, hasilnya sangat efektif sehingga system ini bisa diterapkan di NTT. “Di Bunaken listrik sudah menyala 24 jam dan di pulau Sumba berdasarkan hasil uji cobanya sangat efektif sehingga akan sangat cocok di terapkan di Sumba dan pulau lainnya di provinsi NTT”, kata Dahlan.
Semua wilayah di NTT akan ditingkatkan rasionya hingga 75% pada tahun 2011 ini. Pulau Sumba akan ditingkatkan rasionya hingga 70% dan listrik akan menyala 24 jam, pulau Flores akan ditingkatkan hingga 75%, kabupaten Rote yang awalnya 35% akan ditingkatkan menjadi 75%, pulau Timor akan ditingkatkan hingga 74% dan kabupaten Sabu dari 5% akan ditingkatkan menjadi 62%. Peningkatan rasio elektrifikasi ini juga dilakukan pada daerah-daerah lain termasuk pada daerah yang belum tersentuh listrik misalnya pulau Komodo. Pulau ini juga akan dilakukan peningkatan rasio elektrifikasi sekalipun masyarakat yang mendiami pulau ini relative kecil.
Dirut PLN juga mengatakan bahwa alternatif dan terobosan baru PT PLN dengan menggunakan tenaga surya sebagai pembangkit listrik dalan penerapan system listrik kepulauan ini mempunyai beberapa pertimbangan selain memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan. Pertimbangan itu di antaranya adalah pembangkit litrik dengan mengguakan BBM akan sangat mahal dan cenderung tidak ramah lingkungan. Selain itu, distribusi BBM ke tiap daerah juga cukup sulit sehingga dengan menggunakan tenaga surya akan lebih mudah.
Dengan penerapan Sistem listrik kepulauan ini diharapkan bisa menjawabi kebutuhan akan listrik di wilayah provinsi NTT sehingga geliat ekonomi dan pembangunan bisa lebih nampak di provinsi yang sebentar lagi dijuluki provinsi garam ini.

Kamis, 12 Mei 2011

Manajemen Pers dan Implementasinya

Tidak ada satu pun yang dapat mematikan kemauan untuk bekerja lebih hebat daripada merenungkan seluruh pekerjaan itu ketika kita melakukannya dalam situasi yang sulit dan di bawah tekanan.
(Eric Maisel)

SEJAK UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik dimunculkan, kebebasan pers di Tanah Air kian terasakan. Terutama jika mencermati bunyi Pasal 9 Ayat (1): “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.” Implikasi dari pasal tersebut, direspon oleh Menpen Yunus Yosfiah (waktu itu) untuk membebaskan perusahaan pers dari SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Dampak paling nyata dari kebebasan pers ialah munculnya penerbitan koran, majalah, dan tabloid baru. Baik yang bersifat populer maupun serius, sama-sama memiliki keinginan untuk terbit dan eksis. Oleh karena itu, dari segi kuantitas jumlah media di Indonesia makin beragam dan variatif. Hal itu juga terasakan di ranah kampus melalui penerbitan majalah dan jurnal ilmiah, baik yang dikelola dosen maupun mahasiswa.
Namun, kemunculan penerbitan yang beragam dan variatif itu ternyata tidak otomatis mampu mendongkrak kualitas penerbitan. Ada kalanya sebuah penerbitan di edisi awal dilakukan dengan kerja keras. Di sisi lain, ada pula penerbitan yang mengalami gulung tikar alias bangkrut. Untuk itulah, dalam konteks saat ini para pengelola penerbitan harus segera berbenah diri guna meningkatkan mutu penerbitan medianya masing-masing.
Ada argumen, sukses-tidaknya penerbitan amat bergantung dari jumlah iklan yang termuat. Argumen lain justru mengatakan, bergantung dari tinggi-rendahnya mutu SDM. Jika boleh berpendapat, keduanya amat benar. Artinya, baik iklan maupun SDM sama-sama penting untuk diperhatikan sekaligus ditingkatkan. Dengan demikian, paling tidak ada tiga faktor yang perlu diulas kaitannya dengan manajemen penerbitan pers.
Ketiga faktor tersebut ialah redaksi, perusahaan, dan sirkulasi. Ketiganya memegang peran dalam kerja-kerja penerbitan media secara profesional. Jika ketiganya berperan tidak optimal, kelak mutu penerbitan akan kurang bagus. Selain itu, kinerja pengelola tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itulah, ketiganya perlu terus dibenahi. Mudahnya kita istilahkan dengan departemen editorial, usaha/advertensi, dan sirkulasi.
Departemen Editorial
Departemen ini memiliki fungsi, yaitu mengumpulkan berita atau bahan tulisan lain berupa opini, gambar, data, dsb. Singkatnya, menyinggung soal kerja para wartawan dan redaktur surat kabar. Jika merujuk UU No 40/1999, khususnya Bab I, kita akan ketahui bahwa wartawan ialah “orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
Adapun kegiatan jurnalistik, jika merujuk lagi dari UU No 40/1999, khususnya Bab I ialah “…meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dalam UU No 40/1999, Bab III Pasal 7 Ayat (1) dan (2), kita bisa mengetahui sosok wartawan yang sesungguhnya. Bahwa wartawan itu, “bebas memilih organisasi wartawan”, dan “memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.” Adapun Kode Etik Jurnalistik yang dimaksud ialah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Ada dua bentuk yang dikenal selama ini, yaitu Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Di samping itu, sesuai bunyi Pasal 8 UU No 40/1999, bahwa profesi “wartawan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari mendapat perlindungan hukum.” Adapun “perlindungan hukum” ialah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan begitu, dalam menjalankan tugasnya wartawan akan merasa aman dan nyaman.
Lazimnya, departemen ini dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi (disingkat Pemred). Tanggung jawab pemimpin ini sangat dominan. Jabatan ini biasanya diduduki oleh wartawan senior yang mampu bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koreksi. Secara hukum, posisi pemred akan bisa leluasa jika harus memindahkan pertanggungjawabannya kepada anggota redaksi dan pihak lainnya.
Berikut ini susunan departemen editorial.


Departemen Mekanik

Departemen ini bertugas membantu departemen editorial. Berita dan bahan tulisan lain dikirimkan ke komputer operator dan diserahkan ke bagian percetakan. Tugas percetakan ialah menggandakan semua bahan yang sudah diramu dan diracik bagian redaksi dan tata letak. Departemen ini dipimpin oleh pemimpin percetakan. Oleh karena itu, pemimpin bagian ini kudu paham mengenai jenis kertas, tinta, film, plate, dan sebagainya.
Departemen Usaha
Guna menjalankan kedua departemen di atas, maka (1) halaman iklan harus dijual ke publik/umum, (2) pembeli harus dicari dan dikejar, (3) koran dan majalah harus dikelola secara profesional, dan oleh karenanya ini merupakan tugas dari departemen usaha. Departemen ini memiliki fungsi utama, yaitu mengatur bisnis penerbitan, pemasaran, dan pengelolaan keuangan. Bila dikelola baik, kelak departemen justru akan mendukung dua departemen sebelumnya.
Dalam UU No 40/1999, khususnya Bab II Pasal 3 Ayat (2), “pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.” Maksudnya, perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Dengan begitu, profesionalisme pengelolaan keuangan menjadi suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap perusahaan pers.
Selain Pasal 3 Ayat (2), pers nasional juga diharapkan sesuai Pasal 10, yaitu “…memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Adapun maksud “bentuk kesejahteraan lainnya” ialah peningkatan gaji, bonus, dan lain-lain. Pemberian tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Departemen Sirkulasi
Departemen ini bertujuan untuk mendistribusikan media (koran, majalah, tabloid, dsb) kepada pembaca secara ajeg (kontinu) dan area yang telah ditentukan. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi penerbitan media/pers tanpa pembaca, tentu tidak akan berjalan secara optimal. Untuk itulah, penanganan yang bisa dilakukan ialah pembentukan biro-biro penerbitan di tiap-tiap daerah kabupaten/kotamadya.
Misalnya, harian Jawa Pos yang sudah memiliki beberapa biro daerah (Radar Jogja, Radar Solo, Radar Magelang, dsb). Demikian pula dengan harian Republika dan Kompas. Kedua media massa nasional itu juga memiliki biro daerah, di antaranya Biro DI Yogyakarta dan Biro Semarang. Diharapkan, dengan didirikannya biro tersebut akan memudahkan sirkulasi media ke pembaca, atau dari penerbitan pusat (Jakarta) ke daerah-daerah lainnya.
Kendala Penerbitan Media Berbasis Kampus/Lembaga Pendidikan
Menurut Suroso (2003), ada beberapa kendala dalam pengelolaan penerbitan media kampus. Di antaranya, yang menyangkut (a) SDM, (b) pendanaan, dan (c) sirkulasi. Guna menyiasatinya, pengelola penerbitan media kampus harus bisa memilih jenis majalah/jurnal yang sesuai dengan pasar pembaca. Tentu saja, pembaca yang dibidik ialah pembaca yang sesuai dengan visi dan misi yang telah disepakati.
Beberapa kendala tersebut di antaranya ialah:
1.Belum terciptanya deskripsi kerja berdasarkan tugas keredaksian, usaha, dan sirkulasi. Pembiayaan penerbitan media biasanya dari dana kampus, para pengelola bertugas secara serabutan (bisa kerja di manapun), dan waktu penerbitan yang tidak ajeg (kontinu)
2.Topik-topik yang dipilih kurang menarik dan tampilan fisik media juga kurang bagus. Hal itu disebabkan oleh minimnya dana dan terbatasnya pengetahuan para pengelola (misalnya, penyunting, penata grafis, dan tata letak).
3.Kurangnya pasokan naskah yang akan diterbitkan. Hal ini bisa disiasati dengan memesan naskah ke pakar/ahli, mengadakan bank naskah, baik yang asli maupun terjemahan, atau “memaksa” redaktur untuk menulis.
4.Terbatasnya ruang sirkulasi dan kurang diminati oleh para pembaca. Hal ini bisa diatasi dengan mengubah orientasi penyajian topik-topik non-kampus sehingga pihak lain akan dapat menerimanya.

Catatan Penutup

Setelah mencermati hal di atas, kiranya kita ambil kesimpulan bahwa penerbitan pers/media perlu dikelola secara profesional, tak terkecuali penerbitan berbasis kampus/lembaga pendidikan. Untuk itulah, paling tidak kita bisa membenahinya melalui (a) membuat deskripsi kerja yang jelas, terutama soal ranah keredaksian, (b) pemilihan topik-topik baru, menarik, kraetif, dan bisa dicerna oleh semua kalangan, (c) merangkul lembaga lain untuk menjadi founding. Semoga bermanfaat.