Mayoritas Di Atas Minoritas

Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.

Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.

Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.

Jumat, 13 Mei 2011

KEMERDEKAAN PERS TERUS DIGELORAKAN

Konvensi media massa yang di gelar dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) di hotel Oriental Kupang beberapa waktu lalu dihadiri oleh Dewan Pers,Bagir Manan, ketua DPR RI Marzuki Ali, Menteri Komunikasi dan Informatika,Tifatul Sembiring dan berbagai elemen media massa dan wartawan dari berbagai daerah di Indonesia. Perayaan konvensi media massa ini di buka oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya.

Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) diselenggarakan di Kota Kupang yang berlangsung dari tanggal 8-11 Februari 2011. Provinsi Nusa Tenggar Timur dipercayakan sebagai tuan rumah dalam peringatan HPN ini. Sebuah kebanggaan besar bagi masyarakat NTT karena perayaan akbar untuk berbagai elemen media massa tingkat nasional di selenggarakan di NTT. Dalam momentum perayaan HPN ini diselenggarakan sebuah event konvensi media massa yang berlangsung pada tanggal 9 Februari 2011 bertempat di hotel Oriental-K

upang.
Dalam konvensi itu Ketua Dewan Pers, Bagir Manan mengatakan bahwa kebebasan pers yang digelorakan selama ini bukan berarti tidak ada masalah tentang kemerdekaan pers. Selain hambatan dan ancaman yang ditemui baik langsung maupun tidak langsung misalnya hambatan menjalankan tugas jurnalistik, kematian wartawan yang sedang menjalankan tugas-tugas jurnalistik tetapi lebih insiplit lagi pers mendapatkan persoalan besar lain yang bersumber dari pertanyaan bahwa apakah makna dari kebebasan pers, untuk apa kebebasan pers dan bagaimana memelihara dan mempertahankan kemeredekaan atau kebebasan pers. Untuk itu pers dituntut harus tetap bertanggung jawab dan disiplin. “Kebebasan pers bukan berarti tidak ada masalah, namun masih banyak persoalan besar yang dihadapi baik langsung maupun tidak langsung. Pers harus menggunakan kemerdekaanya dengan penuh tanggung jawab dan disiplin yang ditunjukan dengan taat kepada hukum., senantiasa menjujung tinggi etik, independen, seimbang, check dan recheck dan syarat lain sebuah profesi”, kata Manan. Di akhir paparannya Manan juga menghimbau seluruh insane pers agar tetap meraut pensilnya, untuk meniadakan segala kenyataan yang tidak menyenangkan itu, pers tidak boleh berdiam diri. Sebagai pilar keempat dari demokrasi, pers tidak boleh ikut-ikutan apalagi menjadi bagian dari system pengelolaan kekuasaan, menjalankan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Pers dituntut untuk memelihara tujuan berbangsa dan bernegara.
Dalam konvensi pers ini, Menkominfo, Tifatur Sembiring menitipkan sebuah pesan singkat kepada komunitas pers agar dalam kondisi keterbukaan dan kebebasan pers ini tetap mencermati berbagai hal yang berhubungan denga pemberitaan agar tidak menimbulkan persoalan yang komplikated. “Bahwasanya apapun kondisi keterbukaan dan kebebasan pers ini tentu saja ada beberapa hal yang perlu dicermati agar suatu saat tidak menimbulkan persoalan yang sangat komplikatif”, imbuhnya.
Penyelanggaraan konvensi ini di buka oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya setelah itu dilanjutkan dengan pemaparan makalah oleh Gubernur sendiri. Dalam pemaparan makalah setebal 8 halaman itu, Gubernur menyampaikan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya pemerintah untuk menjadikan NTT sebagai provinsi kepulauan dan mencoba menggali dan mencari landasan hukum Daerah Kepulauan sehingga memberikan kontribusi bagi revisi UU.32/2004. NTT yang memiliki luas lautan melebihi daratan jika dijadikan provinsi kepulauan maka akan sangat menguntungkan. Hal ini dikarena sebuah provinsi kepulauan akan mendapatkan quota alokasi anggaran dihitung berdasarkan luas lautan. “Luas lautan NTT lebih besar dari luas daratan, sehingga NTT jika dijadikan provinsi kepulauan maka akan sangat menguntungkan karena alokasi angggaran diperhitungkan berdasarkan luas lautan” papar Lebu Raya. Dukungan Sumber Daya Alam (SDA) juga mempengaruhi upaya menjadikan sebuah provinsi sebagai provinsi kepulauan. NTT cukup banyak memiliki potensi sumber daya laut yang dapat dijadikan sebagai factor pendukungnya.
Frans Lebu Raya dalam pemaparan makalahnya menyampaikan juga usaha-usaha produktif masyarakat di bidang kelautan misalnya budidaya rumput laut, budidaya ikan dan sebagainya. Usaha ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah. “Masyarakat NTT telah banyak melakukan usaha penangkapan ikan dan budidaya laut, namun perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Dengan provinsi kepulauan maka dukungan itu otomatis akan diberikan secara optimal”, ungkapnya. Dalam paparanya itu Lebu Raya menyatakan tekad menjadikan NTT juga sebagai provinsi jagung, ternak, koperasi dan cendana. Di penghujung paparannya Gubernur meminta dukungan kepada semua pihak untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan NTT sebagai provinsi kepulauan. “Kami meminta dukungan kepada semua pihak dalam mewujudkan impian masyarakat NTT menjadi provinsi kepulauan yang diperkuat dengan sebuah landasan hukum yang tegas” imbuhnya.
Dalam konvensi media massa ini, hadir pula anggota DPR RI, Marzuki Ali yang membawakan materi tentang Provinsi Kepulauan Problematika dan Tantangannya. Dalam paparannya Marzuki Ali menyampaikan berbagai tantangan untuk perwujudan sebuah provinsi menjadi provinsi kepulauan diantaranya adalah peraturan perundangan yang tidak mendukung tentang provinsi kepulauan, kekurangmampuan dan ketidakreatifan pemerintah melihat potensi yang ada di wilayahnya, distribusi anggaran yang tidak merata dan factor lainnya. Marzuki Ali juga mengatakan bahwa Undang-Undang tentang provinsi kepulauan lembaga kehormatan DPR akan siap mengakomodir yang penting komperensif. “DPR akan siap mengakomodir UU tentang provinsi kepulauan asalkan komperensif”, katanya.
Dengan penghujung konvensi media massa ini juga dilakukan lounching buku karangan terbaru yang ditulis oleh wartawan dengan judul “Wartawan Menulis Kenapa Tidak”.

RASIO ELETRIFIKSI DI NTT AKAN MENINGKAT DI TAHUN 2011


Tahun 2011 akan dilakukan peningkatan rasio elektrifikasi pengguna jasa Perusahan Listrik Negara (PLN) 70% hingga 75 % di provinsi NTT. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PLN, Dahlan dalam acara konvensi media massa beberapa waktu lalu di Hotel Oriental-Kupang dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang diselenggarakan di Kupang.

Nusa Tenggara Timur sebagai tuan rumah dalam perayaan HPN membawa dampak positif bagi pengembangan dan kemajuan pembangunan di NTT. Salah satunya adalah rasio eletrifikasi yang akan meningkat hingga 75% di tahun 2011. Hal ini disampaikan oleh Dirut PLN, Dahlan dalam acara Konvensi Media Massa beberapa waktu lalu di hotel Oriental-Kupang dalam rangka peringatan HPN. Dirut PLN menjanjikan adanya peningkatan rasio elektrikfikasi bagi masyarakat pengguna jasa PLN di NTT. “Kami akan melakukan peningkatan rasio elektrifikasi bagi masyarakat pengguna jasa PLN di NTT pada tahun 2011 ini. Rasio yang rendah selama ini berkisar antara 5% hingga 35 % akan ditingkatkan menjadi 70% hingga 75% di semua kabupaten se NTT”, ungkapnya.
Sebuah terobosan baru yang dilakukan oleh PT PLN di Indonesia yaitu menerapkan Sistem Listrik Kepulauan yang belum pernah di terapkan di negara manapun. Terobosan baru menggunakan energi matahari sebagai sumber listriknya. Sudah ada lima pulau yang telah diujicobakan system baru ini, misalnya pulau Bunaken termasuk juga di NTT dan di NTT sendiri telah dilakukan ujicoba di pulau Sumba. Dirut PLN juga menjelaskan hasil ujicobanya dimana di pulau Bunaken rasio ditingkatkan sehingga listrik menyala selama 24 jam sedangkan di Sumba sendiri, hasilnya sangat efektif sehingga system ini bisa diterapkan di NTT. “Di Bunaken listrik sudah menyala 24 jam dan di pulau Sumba berdasarkan hasil uji cobanya sangat efektif sehingga akan sangat cocok di terapkan di Sumba dan pulau lainnya di provinsi NTT”, kata Dahlan.
Semua wilayah di NTT akan ditingkatkan rasionya hingga 75% pada tahun 2011 ini. Pulau Sumba akan ditingkatkan rasionya hingga 70% dan listrik akan menyala 24 jam, pulau Flores akan ditingkatkan hingga 75%, kabupaten Rote yang awalnya 35% akan ditingkatkan menjadi 75%, pulau Timor akan ditingkatkan hingga 74% dan kabupaten Sabu dari 5% akan ditingkatkan menjadi 62%. Peningkatan rasio elektrifikasi ini juga dilakukan pada daerah-daerah lain termasuk pada daerah yang belum tersentuh listrik misalnya pulau Komodo. Pulau ini juga akan dilakukan peningkatan rasio elektrifikasi sekalipun masyarakat yang mendiami pulau ini relative kecil.
Dirut PLN juga mengatakan bahwa alternatif dan terobosan baru PT PLN dengan menggunakan tenaga surya sebagai pembangkit listrik dalan penerapan system listrik kepulauan ini mempunyai beberapa pertimbangan selain memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan. Pertimbangan itu di antaranya adalah pembangkit litrik dengan mengguakan BBM akan sangat mahal dan cenderung tidak ramah lingkungan. Selain itu, distribusi BBM ke tiap daerah juga cukup sulit sehingga dengan menggunakan tenaga surya akan lebih mudah.
Dengan penerapan Sistem listrik kepulauan ini diharapkan bisa menjawabi kebutuhan akan listrik di wilayah provinsi NTT sehingga geliat ekonomi dan pembangunan bisa lebih nampak di provinsi yang sebentar lagi dijuluki provinsi garam ini.

Kamis, 12 Mei 2011

Manajemen Pers dan Implementasinya

Tidak ada satu pun yang dapat mematikan kemauan untuk bekerja lebih hebat daripada merenungkan seluruh pekerjaan itu ketika kita melakukannya dalam situasi yang sulit dan di bawah tekanan.
(Eric Maisel)

SEJAK UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik dimunculkan, kebebasan pers di Tanah Air kian terasakan. Terutama jika mencermati bunyi Pasal 9 Ayat (1): “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.” Implikasi dari pasal tersebut, direspon oleh Menpen Yunus Yosfiah (waktu itu) untuk membebaskan perusahaan pers dari SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Dampak paling nyata dari kebebasan pers ialah munculnya penerbitan koran, majalah, dan tabloid baru. Baik yang bersifat populer maupun serius, sama-sama memiliki keinginan untuk terbit dan eksis. Oleh karena itu, dari segi kuantitas jumlah media di Indonesia makin beragam dan variatif. Hal itu juga terasakan di ranah kampus melalui penerbitan majalah dan jurnal ilmiah, baik yang dikelola dosen maupun mahasiswa.
Namun, kemunculan penerbitan yang beragam dan variatif itu ternyata tidak otomatis mampu mendongkrak kualitas penerbitan. Ada kalanya sebuah penerbitan di edisi awal dilakukan dengan kerja keras. Di sisi lain, ada pula penerbitan yang mengalami gulung tikar alias bangkrut. Untuk itulah, dalam konteks saat ini para pengelola penerbitan harus segera berbenah diri guna meningkatkan mutu penerbitan medianya masing-masing.
Ada argumen, sukses-tidaknya penerbitan amat bergantung dari jumlah iklan yang termuat. Argumen lain justru mengatakan, bergantung dari tinggi-rendahnya mutu SDM. Jika boleh berpendapat, keduanya amat benar. Artinya, baik iklan maupun SDM sama-sama penting untuk diperhatikan sekaligus ditingkatkan. Dengan demikian, paling tidak ada tiga faktor yang perlu diulas kaitannya dengan manajemen penerbitan pers.
Ketiga faktor tersebut ialah redaksi, perusahaan, dan sirkulasi. Ketiganya memegang peran dalam kerja-kerja penerbitan media secara profesional. Jika ketiganya berperan tidak optimal, kelak mutu penerbitan akan kurang bagus. Selain itu, kinerja pengelola tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itulah, ketiganya perlu terus dibenahi. Mudahnya kita istilahkan dengan departemen editorial, usaha/advertensi, dan sirkulasi.
Departemen Editorial
Departemen ini memiliki fungsi, yaitu mengumpulkan berita atau bahan tulisan lain berupa opini, gambar, data, dsb. Singkatnya, menyinggung soal kerja para wartawan dan redaktur surat kabar. Jika merujuk UU No 40/1999, khususnya Bab I, kita akan ketahui bahwa wartawan ialah “orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
Adapun kegiatan jurnalistik, jika merujuk lagi dari UU No 40/1999, khususnya Bab I ialah “…meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dalam UU No 40/1999, Bab III Pasal 7 Ayat (1) dan (2), kita bisa mengetahui sosok wartawan yang sesungguhnya. Bahwa wartawan itu, “bebas memilih organisasi wartawan”, dan “memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.” Adapun Kode Etik Jurnalistik yang dimaksud ialah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Ada dua bentuk yang dikenal selama ini, yaitu Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Di samping itu, sesuai bunyi Pasal 8 UU No 40/1999, bahwa profesi “wartawan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari mendapat perlindungan hukum.” Adapun “perlindungan hukum” ialah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan begitu, dalam menjalankan tugasnya wartawan akan merasa aman dan nyaman.
Lazimnya, departemen ini dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi (disingkat Pemred). Tanggung jawab pemimpin ini sangat dominan. Jabatan ini biasanya diduduki oleh wartawan senior yang mampu bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koreksi. Secara hukum, posisi pemred akan bisa leluasa jika harus memindahkan pertanggungjawabannya kepada anggota redaksi dan pihak lainnya.
Berikut ini susunan departemen editorial.


Departemen Mekanik

Departemen ini bertugas membantu departemen editorial. Berita dan bahan tulisan lain dikirimkan ke komputer operator dan diserahkan ke bagian percetakan. Tugas percetakan ialah menggandakan semua bahan yang sudah diramu dan diracik bagian redaksi dan tata letak. Departemen ini dipimpin oleh pemimpin percetakan. Oleh karena itu, pemimpin bagian ini kudu paham mengenai jenis kertas, tinta, film, plate, dan sebagainya.
Departemen Usaha
Guna menjalankan kedua departemen di atas, maka (1) halaman iklan harus dijual ke publik/umum, (2) pembeli harus dicari dan dikejar, (3) koran dan majalah harus dikelola secara profesional, dan oleh karenanya ini merupakan tugas dari departemen usaha. Departemen ini memiliki fungsi utama, yaitu mengatur bisnis penerbitan, pemasaran, dan pengelolaan keuangan. Bila dikelola baik, kelak departemen justru akan mendukung dua departemen sebelumnya.
Dalam UU No 40/1999, khususnya Bab II Pasal 3 Ayat (2), “pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.” Maksudnya, perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Dengan begitu, profesionalisme pengelolaan keuangan menjadi suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap perusahaan pers.
Selain Pasal 3 Ayat (2), pers nasional juga diharapkan sesuai Pasal 10, yaitu “…memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Adapun maksud “bentuk kesejahteraan lainnya” ialah peningkatan gaji, bonus, dan lain-lain. Pemberian tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Departemen Sirkulasi
Departemen ini bertujuan untuk mendistribusikan media (koran, majalah, tabloid, dsb) kepada pembaca secara ajeg (kontinu) dan area yang telah ditentukan. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi penerbitan media/pers tanpa pembaca, tentu tidak akan berjalan secara optimal. Untuk itulah, penanganan yang bisa dilakukan ialah pembentukan biro-biro penerbitan di tiap-tiap daerah kabupaten/kotamadya.
Misalnya, harian Jawa Pos yang sudah memiliki beberapa biro daerah (Radar Jogja, Radar Solo, Radar Magelang, dsb). Demikian pula dengan harian Republika dan Kompas. Kedua media massa nasional itu juga memiliki biro daerah, di antaranya Biro DI Yogyakarta dan Biro Semarang. Diharapkan, dengan didirikannya biro tersebut akan memudahkan sirkulasi media ke pembaca, atau dari penerbitan pusat (Jakarta) ke daerah-daerah lainnya.
Kendala Penerbitan Media Berbasis Kampus/Lembaga Pendidikan
Menurut Suroso (2003), ada beberapa kendala dalam pengelolaan penerbitan media kampus. Di antaranya, yang menyangkut (a) SDM, (b) pendanaan, dan (c) sirkulasi. Guna menyiasatinya, pengelola penerbitan media kampus harus bisa memilih jenis majalah/jurnal yang sesuai dengan pasar pembaca. Tentu saja, pembaca yang dibidik ialah pembaca yang sesuai dengan visi dan misi yang telah disepakati.
Beberapa kendala tersebut di antaranya ialah:
1.Belum terciptanya deskripsi kerja berdasarkan tugas keredaksian, usaha, dan sirkulasi. Pembiayaan penerbitan media biasanya dari dana kampus, para pengelola bertugas secara serabutan (bisa kerja di manapun), dan waktu penerbitan yang tidak ajeg (kontinu)
2.Topik-topik yang dipilih kurang menarik dan tampilan fisik media juga kurang bagus. Hal itu disebabkan oleh minimnya dana dan terbatasnya pengetahuan para pengelola (misalnya, penyunting, penata grafis, dan tata letak).
3.Kurangnya pasokan naskah yang akan diterbitkan. Hal ini bisa disiasati dengan memesan naskah ke pakar/ahli, mengadakan bank naskah, baik yang asli maupun terjemahan, atau “memaksa” redaktur untuk menulis.
4.Terbatasnya ruang sirkulasi dan kurang diminati oleh para pembaca. Hal ini bisa diatasi dengan mengubah orientasi penyajian topik-topik non-kampus sehingga pihak lain akan dapat menerimanya.

Catatan Penutup

Setelah mencermati hal di atas, kiranya kita ambil kesimpulan bahwa penerbitan pers/media perlu dikelola secara profesional, tak terkecuali penerbitan berbasis kampus/lembaga pendidikan. Untuk itulah, paling tidak kita bisa membenahinya melalui (a) membuat deskripsi kerja yang jelas, terutama soal ranah keredaksian, (b) pemilihan topik-topik baru, menarik, kraetif, dan bisa dicerna oleh semua kalangan, (c) merangkul lembaga lain untuk menjadi founding. Semoga bermanfaat.

Rabu, 30 Maret 2011

PEDOMAN PENULISAN KARYA TULIS

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hendaknya berisi rancangan yang teratur sebagai berikut:
Bagian Awal
a. Halaman Judul
1) Judul diketik dengan huruf besar, hendaknya ekspresif, sesuai dan tepat dengan masalah yang ditulis, dan tidak membuka peluang untuk penafsiran ganda.
2) Nama penulis (lengkap, jangan disingkat) dan nomor induk mahasiswa ditulis dengan jelas.
3) Program studi dan jurusan asal ditulis dengan jelas.
4) Halaman judul merupakan halaman pertama, diberi nomor “i” tetapi tidak perlu dicantumkan pada halaman tersebut.
5) Kalimat-kalimat yang ditulis pada halaman judul harus simetri, dengan kata lain harus di tengah-tengah daerah pengetikan.
b. Lembar Pengesahan
1) Lembar pengesahan memuat judul, nama penulis (lengkap, jangan disingkat), NIM, nama program studi, dan nama jurusan.
2) Lembar pengesahan ditandatangani oleh dosen pembimbing, Ketua HMJ, dan Ketua Jurusan dilengkapi stempel Faperta Undana.
3) Lembar pengesahan diberi tanggal sesuai dengan tanggal pengesahan oleh dosen pembimbing.
4) Halaman pengesahan ditempatkan setelah halaman judul.
c. Kata Pengantar/Prakata dari penulis.
1) Nyatakan secara spesifik terima kasih atas bantuan teknis dan saran yang Anda terima.
2) Ketua Jurusan dan Ketua PS dalam kapasitasnya sebagai pejabat, pada hakekatnya tidak perlu diberi ucapan terima kasih seandainya bantuan yang diberikan memang sudah menjadi kewajibannya.
3) Persantunan ini perlu diungkapkan dengan serius, wajar, dengan tutur kata yang indah, dan tidak terkesan main-main, misalnya ”kepada Usi Oci, thanks.”
4) Panjang ”Kata Pengantar/Prakata” sebaiknya tidak lebih dari satu halaman.
d. Daftar Isi.
1) Disusun secara teratur menurut nomor halaman yang memuat daftar tabel, daftar gambar, judul bab serta subbab, daftar pustaka, dna lampiran.
2) Keterangan halaman yang mendahului daftar isi tidak perlu dimuat dalam daftar isi.
3) Judul ”Daftar Isi” diketik dengan huruf kapital dan ditempatkan di tengah-tengah, dua spasi di bawah nomor halaman. Kata ”Halaman” untuk menunjukkan nomor halaman setiap bab atau subbab diketik di pinggir halaman kanan yang berakhir pada batas pinggir kanan, dua spasi di bawah kata ”Daftar Isi.” Susunan daftar isi menyusul dua spasi di bawahnya.
4) Bila daftar isi memerlukan lebih dari satu halaman, maka pengetikan diteruskan pada halaman berikutnya.
5) Pengetikan antarbab dan antarsubbab diantarai dengan dua spasi, sedangkan antaranak-bab satu spasi.
6) Judul setiap bab diketik dengan huruf kapital dan judul subbab hanya huruf pertama setiap kata yang diketik dengan huruf kapital, kecuali kata depan dan kata sambung.
e. Daftar gambar dan daftar tabel.
1) Kedua daftar ini tidak selalu diperlukan, kecuali bila lebih dari dua tabel dan dua gambar dipakai dalam tubuh tulisan.
2) Daftar gambar dan daftar tabel diketik pada halaman sendiri dengan format seperti daftar isi.
3) Kata ”Halaman” diketik di sebelah kanan, berakhir pada batas kanan. Nomor tabel atau nomor gambar menggunakan angka arab.
4) Nomor diketik tepat pada permulaan batas pinggir kiri dua spasi di bawah ”Daftar Tabel” atau ”Daftar Gambar.”
5) Judul tabel atau gambar dalam daftar tersebut harus sama dengan judul tabel atau gambar dalam teks.
6) Akhir setiap judul tabel atau gambar dihubungkan oleh tanda titik-tititk dengan nomor halaman sesuai dengan yang dijumpai dalam teks.
7) Di dalam teks, judul yang memerlukan lebih dari satu baris diketik dengan spasi satu.
8) Antara judul tabel atau judul gambar dan tabel atau gambar diberi jarak dua spasi.
f. Daftar lampiran.
1) Sama seperti daftar tabel dan gambar, lampiran tidak perlu dibuat daftarnya bila hanya ada satu dalam tubuh tulisan.
2) Tata cara pengetikannya sama dengan ”Daftar Tabel” dan ”Daftar Gambar.”
3) Tidak perlu ada perbedaan antara tabel lampiran atau gambar lampiran. Lampiran dapat berupa tabel, gambar, atau teks, dan semuanya disusun dengan nomor urut sesuai dengan urutan penyebutannya dalam tubuh tulisan Anda.
g. Ringkasan/abstrak karya tulis.
1) Disusun dalam beberapa paragraf dan panjang tidak lebih dari 250 kata atau sebanyak-banyaknya dua halaman.
2) Jangan menggunakan singkatan dalam bagian ini kecuali akan disebutkan sekurang-kurangnya dua kali lagi. Contohnya, pada awal teks, ”inframerah” ditulis lengkap. Akan tetapi, jika ”inframerah” ini masih diperlukan dalam teks abstrak, tulislah dulu ”inframerah (IR),” selanjutnya gunakan singkatan ”IR.”
3) Ringkasan/abstrak mencerminkan isi keseluruhan karya tulis, mulai dari latar belakang, tujuan, landasan teori yang mendukung, metode penulisan, pembahasan, simpulan, dan rekomendasi/saran.
4) Dalam menyusun ringkasan/abstrak, tempatkan diri Anda sebagai pembaca. Mereka ingin mengetahui dengan cepat garis besar pekerjaan Anda. Jika sesudah membaca bagian ini pembaca ingin mengetahui perincian lain, maka silakan membaca selengkapnya.
5) Penyajian ringkasan/abstrak selalu informatif dan faktual. Untuk meningkatkan informasi yang diberikan, tonjolkan temuan dan keterangan lain yang baru bagi ilmu pengetahuan dan suguhkan angka-angka.
6) Ringkasan/abstrak hanya memuat teks, tidak ada pengecuan pada pustaka, gambar, dan tabel.
7) Ringkasan/abstrak diketik dengan spasi satu, termasuk judul. Kata ”Ringkasan atau Abstrak” ditulis dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah. Nama lengkap penulis diketik dengan huruf kapital dua spasi di bawah judul dan dimulai dari batas kiri, kemudian disusul judul. Huruf pertama setiap kata pada judul diketik dengan huruf kapital kecuali kata depan dan kata sambung. Selanjutnya, ”Dibimbing oleh xxxxxx” (nama lengkap pembimbing, tanpa gelar) yang ditulis dalam huruf kapital.
8) Ringkasan/abstrak terletak pada halaman setelah sampul, tidak diberi nomor halaman, dan tidak dimasukkan dalam ”Daftar Isi.”
Bagian Inti
a. Pendahuluan
Bagian ”Pendahuluan” merupakan gambaran umum dari observasi awal dan fenomena tentang topik penulisan. Latar berlakang, rumusan tujuan kegiatan serta manfaat untuk waktu yang akan datang ditunjukkan di bagian ini. Rujuka berbagai sumber pustaka, pandangan singkat dari para penulis lain yang pernah melakukan pembahasan tentang topik terkait dapat dikemukakan di sini. Oleh karena itu, “Pendahuluan” berisi hal-hal sebagai berikut:
1) Perumusan masalah yang mencakup latar belakang tentang alasan mengangkat masalah tersebut menjadi karya tulis dan penjelasan tentang makna penting serta menariknya masalah tersebut untuk ditelaah.
2) Uraian singkat mengenai gagasan kreatif yang ingin disampaikan.
3) Mengandung pertanyaan yang akan dijawab melalui penulisan.
4) Tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan.
b. Telaah Pustaka
1) Uraian menunjukkan landasan teori dan konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang dikaji.
2) Uraian pendapat yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
3) Uraian pemecahan masalah yang pernah dilakukan.
c. Metode Pendekatan
Judul dari bab ini dapat diganti dengan Metode Penulisan atau Bahan dan Metode, namun dapat diberi judul lain bergantung pada kegiatan dan metodologi yang telah dilakukan sehingga penulis diberi kebebasan untuk memberi judul lain, seperti Pendekatan Teoritik atau Konsideransi Penulisan. Secara umum, metode pendekatan berisi tentang bagaimana obervasi dilakukan, termasuk waktu, lama, dan tempat dilakukannya observasi, bahan dan alat yang digunakan, metode untu memperoleh data/informasi, serta cara pengolahan data dan analisis yang dilakukan. Metode harus dijelaskan secara lengkap agar orang lain dapat melakukan ujicoba ulang. Acuan referensi diberikan pada metode yang kurang dikenal.
Penulisan dilakukan mengikuti metode yang benar dengan menguraikan secara cermat cara/prosedur pengumpulan data dan/atau informasi, pengolahan data dan/atau informasi, analisis-sintesis, mengambil keputusan, serta merumuskan saran atau rekomendasi.
d. Bagian Isi/Pembahasan
Umumnya berisi uraian dan analisis berkaitan dengan temuan-temuan dari observasi yang telah dilakukan, terutama dalam konteks yang berhubungan dengan apa yang pernah dilakukan orang lain. Interpretasi dan ketajaman analisis dari penulis terhadap hasil yang diperoleh, dikemukakan di sini, termasuk pembahasan tentang pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari hasil observasi serta dugaan ilmiah yang dapat bermanfaat untuk kelanjutan dari kegiatan di masa mendatang. Pemecahan masalah yang berhasil dilakukan, perbedaan dan persamaan dari hasil pengamatan terhadap informasi yang dikemukakan dalam pustaka (observasi terdahulu) perlu mendapatkan catatan di sini. Oleh karena itu, “Isi/Pembahasan” berisi hal-hal sebagai berikut:
1) Analisis permasalahan didasarkan pada data dan/atau informasi serta telaah pustaka untuk menghasilkan alternatif model pemecahan masalah atau gagasan kreatif.
2) Simpulan harus konsisten dengan analisis permasalahan.
3) Saran disampaikan berupa kemungkinan atau prediksi transfer gagasan dan adopsi teknologi.
Bagian Akhir
a. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan merupakan bagian akhir tulisan yang membawa pembaca ke luar dari pembahasan. Secara umum, kesimpulan menunjukkan jawaban atas tujuan yang telah dikemukakan dalam “Pendahuluan.”
b. Daftar Pustaka ditulis untuk memberi informasi sehingga pembaca dapat dengan mudah menemukan sumber yang disebutkan. Penulisan daftar pustaka untuk buku dimulai dengan menulis nama pengarang, tahun terbitan, judul buku, tempat terbit, dan nama penerbit. Penulisan daftar pustaka untuk jurnal dimulai dengan nama penulis, tahun terbit, judul tulisan, nama jurnal, volume dan nomor halaman. Penulisan daftar pustaka yang diperoleh dari internet ditulis alamat website-nya.
c. Daftar Riwayat Hidup (biodata atau curriculum vitae) peserta minimal mencakup nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, karya-karya ilmiah yang pernah dibuat, dan penghargaan-penghargaan ilmiah yang pernah diraih.
d. Lampiran (jika diperlukan).
Persyaratan Penulisan
Naskah ditulis minimal 10 halaman dan maksimal 15 halaman. Jumlah halaman yang tidak sesuai dengan ketentuan jumlah halaman tersebut dapat mengurangi penilaian, menggunakan Bahasa Indonesia yang baku dengan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan, sederhana, jelas, satu kesatuan, mengutamakan istilah yang mudah dimengerti, tidak menggunakan singkatan seperti tdk, tsb, yg, dgn, dll, sbb, dan sebagainya.
Pengetikan
Tata Letak
a. Karya tulis diketik pada kertas berukuran A4 dengan huruf font 12 (Times New Roman style), jarak pengetikan 4 cm dari batas kiri, 3 cm dari samping kanan, 3 cm dari batas atas, dan 3 cm dari batas bawah.
b. Cara penulisan bab dan subbab tidak menggunakan sistem numeral, artinya tidak ada penomoran bab dan subbab. Penulisan bab baru mengikuti bab sebelumnya dengan jarak 3 spasi antara judul bab dengan baris terakhir bab sebelumnya (tidak perlu berganti halaman baru).
c. Judul artikel menggunakan huruf besar (kapital) dengan font 12 (Times New Roman style bold) (cetak tebal) dengan posisi di tengah tanpa digarisbawahi.
d. Judul bab diketik menggunakan huruf besar (kapital) dengan font 12 (Times New Roman style bold) (cetak tebal) dimulai dari sebelah kiri tanpa digarisbawahi.
e. Judul subbab ditulis menggunakan huruf besar (kapital) dengan font 12 (Times New Roman style bold) (cetak tebal) dimulai dari sebelah kiri tanpa digarisbawahi, setiap huruf pertama ditulis dengan huruf besar (kapital), kecuali kata-kata tugas seperti preposisi (“di”, “ke”, “dari”, “yang”, “antara”, “pada”, “untuk”, “tentang”, “edengan”); kata sambung (“dan”, “atau”, “sejak”, “setelah”, “karena”).
f. Judul anak subbab ditulis menggunakan huruf besar (kapital) dengan 12 (Times New Roman style italic) (cetak miring) dimulai dari sebelah kiri dan diberi garisbawah, setiap huruf pertama ditulis dengan huruf besar (kapital), kecuali kata-kata tugas seperti preposisi (“di”, “ke”, “dari”, “yang”, “antara”, “pada”, “untuk”, “tentang”, “edengan”); kata sambung (“dan”, “atau”, “sejak”, “setelah”, “karena”).
g. Jarak pengetikan antara bab dan subbab 2,5 spasi, antara subbab dan kalimat di bawahnya 2 spasi.
h. Alinea baru diketik menjorok ke dalam (diberi indentasi) sebanyak 7-8 karakter (sekitar 1,25 cm).
i. Daftar Pustaka diketik 1 spasi.
j. Bagian kelengkapan administrasi yang meliputi halaman judul, nama/daftar anggota kelompok, halaman pengesahan serta kata pengantar (apabila ada), diberi nomor halaman menggunakan angka romawi kecil dan diketik di sebelah kanan bawah (i, ii, dan seterusnya).
k. Bagian utama (naskah artikel/laporan) diberi nomor halaman menggunakan angka arab yang dimulai dengan nomor halaman 1 (satu) dna diketik di sebelah kanan atas dengan jarak 3 cm dari tepi kanan dan 1,5 cm dari atas.
l. Tabel: judul font 12 (Times New Roman style), isi font 10 (Times New Roman style), dan berbentuk tabel “telanjang.” Tabel diberi judul dengan penomoran tabel sesuai dengan urutan kemunculannya dalam naskah. Judul tabel ditulis di atas tabel dengan nomor tabel menggunakan angka arab.
m. Gambar baik dalam bentuk grafik maupun foto diberi judul dengan penomoran gambar sesuai dengan urutan kemunculannya dalam naskah. Judul gambar ditulis di atas gambar dengan nomor gambar menggunakan angka arab.
n. Hindari pengunaan warna dalam gambar, gunakan teknik grey-scale untuk mengemulasi warna dalam foto atau diagram, dan gunakan pattern/pola untuk menggantikan warna dalam grafis garis ataupun diagram.

TIRAM MUTIARA (Pinctada maxima)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Biologi Tiram Mutiara
3.1.1 Klasifikasi
Tiram mutiara termasuk dalam filum Mollusca. Filum ini terdapat 6 (enam) kelas, dan tiram mutiara termasuk dalam kelas Pelecypoda (Pelecypoda yang berasal dari kata pelekis = kapak kecil; podos = kaki). Secara lengkap klasifikasi tiram mutiara (Jameson, 1901 dalam Mulyanto, 1987) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Invertebrata
Philum : Mollusca
Kelas : Pelecypoda
Ordo : Anisomyaria
Famili : Pteridae
Genus : Pinctada
Spesies : Pinctada maxima (Jameson, 1901)

Spesies Pinctada lainnya yang merupakan penghasil mutiara adalah Pinctada margaritifera, P. margaritifera zanzibaresi, P. margaritifera persica, P. margaritifera erytraensis, dan P. Cuminggi (Chan, 1949).

3.1.2. Morfologi

Gambar 10. Morfologi Tiram Mutiara (Pinctada maxima)

Secara morfologi tiram mutiara memiliki sepasang cangkang yang bentuknya tidak sama (inequivalve). Cangkang tersebut berfungsi melindungi mantel dan organ bagian dalam lainnya. Bagian cangkang sebelah kanan agak pipih dan cangkang sebelah kiri lebih cembung. Kedua cangkang tersebut dihubungkan oleh sepasang engsel (hinge), sehingga akan mempermudah tiram dalam membuka dan menutup cangkangnya (Tun dan Winanto, 1988).
Kelas Pelecypoda atau bivalve secara umum mempunyai cangkang dengan dua belahan dan engsel di dorsal yang menutup seluruh tubuh (Winanto, 2004). Cangkang (shell) tersebut tidak sama bentuknya, kulit sebelah kanan agak pipih, sedangkan sebelah kiri lebih cembung. Kedua cangkang tersebut bersatu pada bagian punggung (dorsal) dan dihubungkan oleh sepasang engsel (hinge line) yang berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang (Winanto et al., 1988).
Tiram muda atau spat mempunyai warna cangkang bervariasi dengan warna dasar kuning pucat, kuning tua atau kuning kecoklatan, coklat kemerahan, merah anggur dan kehijaun. Pada cangkang bagian luar terdapat garis-garis radier yang menonjol seperti sisik, berwarna lebih terang dari warna cangkang, berjumlah 10-12 buah dan ukurannya lebih besar dibandingkan pada spesies lain.
Umumnya setelah dewasa warna cangkang menjadi kuning tua sampai kuning kecoklatan, warna garis raider biasanya sudah memudar. Cangkang bagian dalam (Nacre) berwarna putih mutiara dan mempunyai struktur keping yang kecil-kecil terdiri dari kristal aragonite yang tersusun pada satu kerangka conchiolin. Conchiolin adalah lapisan yang terluar, tetapi biasanya telah terkikis oleh alam, kecuali pada tiram yang masih muda (Atmosudarmo dalam Mulyanto, 1987).

3.1.3. Anatomi
Menurut Mulyanto (1987), terdapat tiga bagian utama dari anatomi tiram yaitu kaki, mantel dan organ bagian dalam (visceral mass), hal serupa juga dinyatakan oleh Winanto dan Tun (1988).
a. Kaki
Kaki yang ada dalam tubuh tiram tidak akan dipergunakan lagi apabila tiram telah menempel dengan byssusnya (Mulyanto, 1987),. Pada waktu masih muda sampai pada saat menemukan tempat yang cocok untuk menempel digunakan kaki sebagai alat geraknya (locomotion) selain itu juga kaki digunakan oleh tiram sebagai alat pembersih dari kotoran-kotoran atau partikel-partikel pengganggu pada insang dan mantel (Sutaman, 1993). Pada bagian kaki ini terdapat byssus, yaitu alat penempel tubuh pada substrat atau tempat yang disukai. Bentuk byssus ini menyerupai rambut atau serat dan berwarna hitam. Kaki pada tiram tersusun oleh suatu jaringan yang bersifat elastis yang bisa merenggang atau memanjang sampai tiga kali dari keadaan normal (Tun dan Winanto, 1988).
b. Mantel
Bagian dari tubuh tiram yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kulit dan pembentukan mutiara adalah mantel (Priyono, 1981). Winanto et al., (1988) menyatakan organ bagian dalam tiram terbungkus oleh mantel yang menggantung seperti tabir diantara cangkang dan tubuh. Mantel terdiri dari dua bagian, yaitu belahan mantel bagian kanan dan bagian kiri. Kedua bagian tersebut saling berhubungan di samping garis punggung bagian tengah. Mantel juga berfungsi sebagai penyaring unsur-unsur yang terhisap (berbagai jenis plankton) dan menyemburkan kotoran ke luar. Fungsi lainnya adalah menjalankan kegiatan utama pada pernafasan seperti halnya insang dalam menghisap makanan.
c. Organ Bagian Dalam (Visceral mass)
Organ bagian dalam tubuh tiram terdiri dari insang, mulut, jantung, otot-otot gonad dan susunan syaraf seperti yang terlihat pada Gambar 1. Insang berperan sangat penting dalam pernafasan dan pengumpulan makanan. Menurut Mulyanto (1987), adanya gerakan silia yang dimiliki insang mampu menyebabkan air masuk ke rongga mantel (mantle cavity) melalui lubang pemasukan (inhallent siphon). Makanan yang terbawa oleh air, masuk ke dalam mulut dan air keluar kembali melalui exhallent siphon.













Gambar 11. Anatomi tiram mutiara (P. maxima)
Sumber : Mulyanto (1987)

Mulut tiram terletak pada bagian ujung atas anterior yang terhubungkan oleh suatu aliran menuju organ bagian dalam dan masuk melalui kerongkongan yang pendek, berbelok masuk langsung melalui saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisahkan makanan (Abbott, 1967 dalam Raswin dan Ayodhyoa, 1972).
Jantung terletak di bagian punggung, terdiri dari satu bilik jantung bagian tengah dan dua cabang auricula. Pembuluh darah depan dan satu pembuluh darah belakang akan membawa darah (darah tidak berwarna) keluar dari jantung. Urat nadi anterior dan posterior menyalurkan darah dari hati. Untuk sistem saraf, terdiri dari simpul saraf pusat sebagai susunan saraf otak sederhana dengan tali urat saraf dan alat perasa yang sederhana (Tun dan Winanto, 1988).
Tun dan Winanto (1988), menyatakan bahwa tiram mutiara memiliki sepasang otot yang mempunyai peranan penting di dalam tubuh tiram yaitu otot adductor yang berfungsi dalam membuka cangkang dan otot penutup (retractor) yang berfungsi dalam proses menutupnya cangkang.
Gonad merupakan organ reproduksi tiram mutiara yang terdiri dari sepasang dan letaknya simetris. Gonad jantan maupun betina yang telah tumbuh sempurna (matang gonad) akan menyelimuti seluruh bagian organ dalam (perut, jantung, dan bagian utama usus), tetapi gonad tidak menutupi bagian pangkal byssus. Induk tiram yang telah matang kelamin dapat ditandai dari warna gonadnya, untuk induk jantan gonadnya berwarna krem keputihan sedangkan induk betina berwarna kuning (Dhoe et al., 2001)

3.1.4. Sistem Reproduksi
Tiram mutiara mempunyai jenis kelamin terpisah, kecuali pada beberapa spesies tertentu ditemukan sejumlah individu yang hermaprodit. Perubahan kelamin (sex reversal) biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada stadia awal perkembangan gonad. Fenomena sex reversal juga diamati Wada and Wada (1939) dalam Chan (1949) terhadap tiram Pinctada maxima, hasilnya menunjukan bahwa jenis kelamin tiram ternyata tidak tetap, sejumlah jantan berubah menjadi betina dan sebaliknya betina bisa menjadi jantan.
Bentuk gonad tebal mengembung, pada kondisi matang penuh gonad menutupi seluruh organ dalam (perut, hati dan lainnya) kecuali kaki. Secara eksternal sulit untuk membedakan antara gonad jantan dan betina, utamanya pada stadia awal, keduanya berwarna krem kekuningan. Tetapi setelah stadia matang penuh, gonad tiram Pinctada maxima jantan berwarna putih krem, sedangkan betina berwarna kuning tua.
Tingkat kematangan gonad tiram mutara dikelompokan menjadi lima stadia (deskripsi ini hanya didasarkan pada tiram betina) yaitu:
Stadia I: tahap tidak aktif/salin/istirahat (inactive/spent/maturing): Kondisi gonad mengecil dan bening transparan. Dalam beberapa kasus, gonad berwarna oranye pucat. Rongga kosong sel berwarna kekuningan (lemak). Pengamatan jenis kelamin pada fase ini sangat sulit dilakukan.
Stadia II: Perkembangan/Pematangan (developing/maturing): Warna transparan hanya terdapat pada bagian tertentu, material gametogenik (sel kelamin) mulai ada dalam gonad. Saat mencapai fase lanjut, gonad mulai menyebar di sepanjang bagian posterior sekitar otot retraktor dan lebih jelas lagi di bagian anterior-dorsal. Gamet mulai berkembang di sepanjang dinding kantong gonad. Sebagian besar oocyt (bakal telur) bentuknya belum beraturan dan inti belum ada. Ukuran rata-rata oocyt 60 µm-47,5 µm.
Stadia III: Matang (mature): Gonad tersebar merata hampir diseluruh jaringan organ, biasanya berwarna krem-kekuningan. Sebagian besar oocyt berbentuk seperti buah pir dengan ukuran 68 µm x15 µm. Inti berukuran 25 µm.
Stadia IV:Matang penuh/memijah sebagian (fully maturation/partially spawned): Gonad menggembung, tersebar merata, dan secara konsisten akan keluar dengan sendirinya atau jika ada sedikit trigger (getaran). Oocyt bebas dan terdapat di seluruh dinding kantong. Hampir semua oocyt berbentuk bulat dan berinti. Ukuran oocyt rata-rata 51,7 µm.
Stadia V: Salin (spent): Bagian permukaan gonad mulai menyusut dan mengerut dengan sedikit gonad (kelebihan gamet) tertinggal di dalam lumen (saluran-saluran di dalam organ reproduksi) pada kantong. Jika ada oocyt maka jumlahnya hanya sedikit dan berbentuk bulat. Ukuran rata-rata oocyt 54,4 µm. Deskripsi fase salin biasanya digunakan pada kondisi setelah oogenesis, selanjutnya secara cepat akan berubah ke fase salin istirahat (Fase I : spent resting).
Pada stadia awal perkembangan gonad, tiram jantan dan betina menunjukan perkembangan reproduksi yang sama, oleh karena itu pada stadia II dan III warna gonad krem pucat. Pada stadia gametogenesis yang lain, gonad jantan dan betina nampak sama jika diamati secara ekternal (Chellam 1987; Winanto 2004).
Pada berbagai kasus di lapangan, para praktisi (breeder)sering kali menggunakan induk stadia III dan IV untuk pemijahan. Spesifikasi induk betina stadia III adalah gonad tersebar merata hampir di seluruh jaringan organ, biasanya berwarna krem kekuningan. Sedangkan induk stadia IV mempnyai ciri-ciri gonad mengembung, tersebar merata dan secara konsisten akan keluar dengan sendirinya atau jika ada sedikit trigger. Oocyt bebas dab terdapat di seluruh dinding kantong gonad. Hampir semua oocyt berbentuk bulat dan berinti.
Menurut Wada at al. (1995) pengetahuan tentang biologi reproduksi tiram mutiara sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri budidaya mutiara, khususnya memahami perkembangan gonad dan dinamika populasinya di alam. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk mengembangkan teknik pembenihan dan perbaikan teknik penempatan inti bulat di dalam gonad pada budidaya mutiara.
Hasil pengamatan Winanto et al. (2002) terhadap stadia kematangan gonad dan musim pemijahan Pinctada maxima di Teluk Hurun, Lampung dari tahun 1996-2002 menunjukan, bahwa kematangan gonad terjadi setiap bulan, namun stadia kematangan gonad penuh (TKG IV) hanya terjadi pada bulan Maret, Mei dan Agustus sampai November . Gonad dalam masa istirahat (resting phase) terjadi pada bulan Desember, stadia I dan II terjadi hampir sepanjang tahun. Selama tujuh tahun pengamatan, dicatat stadia perkembangan gonad tertinggi hanya sampai TKG II terutama pada bulan April dan Juni. Sedangkan TKG III terjadi pada bulan Januari-Maret dan Juli-Desember.
Apri I. Supii dan Sudewi yang mengamati perkembangan kematangan gonad tiram mutiara Pinctada maxima di Teluk Pegametan Kabupaten Buleleng, Bali. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa pada bulan Pebruari sampai dengan April terdapat jumlah induk jantan yang matang gonad lebih banyak dari induk betina. Sedangkan pada bulan Agustus sampai dengan November induk betina jumlahnya lebih banyak dari induk jantan. Kematangan gonad induk tiram mutiara pada daerah penelitian ini adalah pada bulan Pebruari sampai dengan bulan April, tetapi puncak kematangan gonad terjadi pada bulan Agustus sampai dengan November.
Telur yang telah dibuahi akan mengalami perubahan bentuk, mula-mula terjadi penonjolan polar lobe II yang merupakan awal proses pembelahan sel dan akhirnya menjadi multisel. Tahap berikutnya adalah fase trocofor, dengan bantuan bulu-bulu trocofor dapat berenang-renang dan bergerak berputar-putar. Beberapa jam kemudian trocofor akan berkembang menjadi veliger atau larva bentuk D (gambar 2), dengan ditandai tumbuhnya organ mulut dan pencernaan. Larva mulai makan dan telah ditutupi cangkang tipis. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuh velum, pada fase ini biasanya sangat sensitif terhadap cahaya dan sering berenang-renang di permukaan air. Selama stadia planktonis, larva biasanya berenang-renang menggunakan bulu-bulu getar atau menghanyut dalam arus air.
Pada saat mencapai stadia umbo (gambar 2) secara bertahap cangkang juga ikut berkembang. Bentuk sepasang cangkangnya sama dan mantel sudah berfungsi secara permanen. Pada akhir stadia umbo, larva bergerak menggunakan velum.
Stadia Pediveliger (gambar 2) ditandai berkembangnya kaki, gerakan-gerakan sederhana dari berenang sampai berputar-putar dilakukan dengan velum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan baik, velum akan menghilang, lembaran-lembaran insang mulai nampak jelas.
Proses pencarian tempat atau substrat untuk menempel atau menetap dimulai sejak larva mencapai stadia pediveliger. Pertumbuhan awal cangkang terlihat pada bagian tepi cangkang, bentuknya sangat tipis, transparan, tersusun oleh selaput tipis conchiolin. Pada waktu yang sama kelenjar bisus akan mensekresikan benang-benang bisus untuk menempel. Organ lain yang berkembang adalah labial palp dan insang. Stadia pertumbuhan setelah pediveliger ini biasanya disebut Plantigrade (gambar 2).
Perkembangan akhir larva yaitu perubahann stadia planigrade menjadi spat (gambar 2). Bentuk spat menyerupai tiram dewasa,mempnyai engsel, auricula depan dan belakang serta terdapat kaki bisus pada bagian anterior. Cangkang sebelah kiri lebih cembung dari pada yang kanan. Spat-spat biasa menempel pada substrat dengan bantuan benang-benang bisus. Laju pertumbuhan dari stadia larva sampai spat pada satu tempat dan tempat yang lain berbeda-beda, tergantung dari faktor lingkungan.



Gambar 12. Siklus hidup Pinctada maxima (modifikasi dari Tun and Winanto1987, Winanto 1988); Ikenoue and Kafuku 1992) (1) Telur dan Sperma (2) Telur dibuahi (3) Pembelahan sel (4) Gastrula (5) Larva bentuk-D (6) Stadia Umbo (7) Dewasa


3.2. Sistem Pencernaan
Seperti halnya pada jenis kekerangan yang lain, tiram mutiara mampu memanfaatkan phytoplankton yang terdapat secara alamiah di sekitarnya. Tiram mutiara bersifat filter feeder atau mengambil makanan dengan cara menyaring pakan yang ada di dalam air laut. Getaran silia pada insang menimbulkan arus air yang masuk ke dalam ronga mantel. Gerakan silia akan memindahkan phytiplankton yang ada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut ( Gosling; 2004)
Mulut terlerak pada bagian ujung depan saluran pencernaan atau disebelah atas kaki. Makanan yang ditelan masuk ke dari mulut kemudian melaui kerongkongan yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Dari perut sisa makanan (kotoran) akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti hurus S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan and Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009)
3.3. Sistem Pernapasan
Insang merupakan organ yang mempunyai peran fungsional baik dalam pernapasan maupun osmoregulasi. Sel-sel yang berperan pada proses osmoregulasi adalah sel-sel chlorida yang terletak pada bagian dasar lembaran-lembaran insang. Insang berjumlah empat buah, berbentuk sabit, dua insang berada di sisi kanan dan kiri, menggantung pada pangkal mantel seperti lipatan buku (Velayudhan and Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009).
Air masuk melalui saluran inhelan akan berhenti pada bagian mantel, lalu secara cepat dan kompak bekerjasama dengan insang sehingga dapat memanfaatkan udara yang terangkut dan air dikeluarkan kembali melalui saluran ekshalen. Air serta darah yang tidak berwarna masuk melaui beberapa filamen tunggal lalu mengalir ke luar menuju pinggir insang, kemudian melintas ke atas berputar kembali melalui filamen dan masuk ke branchial atau ctenidial. Dengan bantuan silia-silia pada branchial dapat menimbulkan arus yang masuk ke bilik palial dan melintas ke atas, melaui lamela branchial. Jadi selain menjalankan fungsi pernafasan, filamen pada insang dan mantel dapat memperlancar peredaran darah (Gosling, 2004; Velayudhan and Gandhi 1987)


3.4. Kualitas Air
Perkembangan, pertumbuhan dan sintasan tiram mutiara sangat dipengaruhi oleh kualitas air di lingkungan tempat hidupnya. Beberapa parameter kualitas air tersebut antara lain suhu, kecerahan, salinitas, Oksigen terlarut (DO), pH, dan pakan hidup (Soria et al 2007, Yokihira et al; 2006)

Suhu
Perubahan suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologis tiram mutiara dalam air. Menurut Chan (1949) suhu yang baik untuk kelangsungan hidup tiram mutiara berkisar antara 200C-300C. Sedangkan menurut Suharyanto et al. (1993), suhu air pada kisaran 27-310C dianggap cukup layak untuk kehidupan tiram mutiara Pinctada margaritifera (japing-japing)
Menurut Nayar dan Mahadevan (1987 dalam Winanto 2009), selama pemeliharaan di dlaam laboratorium, suhu yang bervariasi akan mempengaruhi waktu penempelan larva tiram mutiara. Pada suhu 28,2-29,2 0C larva akan menempatkan diri untuk menetap-melekat pada substrat setelah berumur 24 hari. Selanjutnya pada rentang suhu 24,3 – 27,20C larva baru akan menetap setelah 32 hari. Pada suhu yang rendah, sebagian besar waktu tiram mutiara akan dihabiskan untuk melakukan metamorfose secara lengkap dan melekatkan diri untuk menetap.
Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme. Perubahan suhu walaupun kecil selama pemeliharaan larva dapat mengakibatkan kematian. Pada suhu antara 24-300C, tiram mutiara Pinctada margaritifera sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme, sedangkan pada suhu 18-200C tidak aktif lagi. Suhu air yang baik untuk pemeliharaan larva verkisar antara 25-270C (Hisada dan Komatsu,1985; Shokita et al 1991).

Kecerahan
Kecerahan air berpengaruh terhadap fungsi dan struktur invertebrata dalam air. Lama penyinaran akan berpengaruh terhadap proses pembukaan dan penutupan cangkang. Cangkang tiram akan terbuka sedikit bila ada cahaya, dan terbuka lebar bila suasananya agak gelap. Oleh sebab itu ruang pemeliharaan larva dan spat biasanya dibuat agak gelap, dengan tujuan agar organisme yang dipelihara merasa nyaman dan cangkang bisa bebas terbuka, sehingga proses filtrasi pakan dapat berlangsung maksimal dan alami (Gosling,2004; Velayudhan and Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009)
Kecerahan yang tidak terlalu tinggi dapat melindungi tubuh larva stadia veliger dari radiasi sinar ultra violet. Karena larva masih bersifat fototaksis positif dan umumnya di dalam proses metamorfose menghendaki sinar yang sesuai (CMFRI 1991 dalam Winanto).
Lokasi pemeliharaan induk sebaiknya mempunyai kecerahan antara 4,5 – 6,5 m. Apabila kecerahan lebih dari kisaran tersebut akan menyulitkan pemeliharaan, karena demi kenyamanan induk harus dipelihara di kedalaman melebihi tingkat kecerahan yang ada (Tun dan Winanto, 1987).

Salinitas
Dilihat dari habitatnya tiram mutiara lebih menyukai hidup pada salinitas yang tinggi. Tiram mutiara toleran terhadap kisaran salinitas 24 dan 50 0/¬00, namun hanya untuk jangka waktu pendek yaitu sekitar 2-3 hari.
Lokasi pembenihan sebaiknya dipilih di loasi perairan yang memiliki salinitas antara 32-35 0/¬00, karena baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva dan spat. Pada salinitas 14 0/¬00¬ dan 50 0/¬00, dapat mengakibatkan kematian tiram mutiara sampai 100 % (BBL 2001; Tun dan Winanto 1987).

Oksigen Terlarut (DO
Bagi organisme akuatik yang dibudidayakan, oksigen terlarut dapat menjadi faktor pembatas kelangsungan hidup, perkembangan dan pertumbuhan. Menurut Imai (1982) dalam Wiananto (2009), tiram dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,20 – 6,60. Pengamatan Darmaraj (1983) di daerah polupasi alami tiram Pinctada sugilata menunjukan bahwa kandungan rata-rata oksigen terlarut di permukaan air 4,22 ml/l dan dasar perairan 4,37 ml/l. Sedangkan pengamatanya di daerah budidaya mencatat kandungan oksigen terlarut dibagian permukaan 5,05 ml/l dan dasar perairan 4,77 ml/l.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Nayar dan Mahadevan (1987) dalam Winanto (2009), bahwa tiram mutiara tidak akan mengalami stres pada kisaran konsentrasi oksigen terlarut yang terbatas. Hal ini merupakan fakta, karena metabolisme pada kebanykan moluska sangat tergantung pada batas tekanan oksigen terlarut, sampai mencapai batas tekanan terendah hingga oksigen terlarut akan naik kembali.
Hasil penelitian Dharmaraj (1983) tentang kebutuhan oksigen teralrut tiram mutiara Pinctada fucata, menunjukan bahwa tiram berukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksegen 1,339 µl/l ; ukuran 50-60 mm mengkonsumsi 1,650 µ/l dan ukuran 50-70 mm mengkonsumsi 1,810 µ/l.

pH
pH air yang layak untuk kehidupan tiram mutira Pinctada maxima berkisar antara 7,8-8,6 (Matsui 1960 dalam Wiananto,2009). Sedangkan pada pH 7,9-8,2 tiram mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik.
Menurut Mahadevan and Nayar (1974) dalam Wiananto, (2009), pada prinsipnya habitat tiram mutiara berada pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Tiram tidak akan bereproduksi kembali bila pH lebih tinggi dari 9,00. Aktivitas tiram akan meningkat pada pH 6,75-7,00 dan menurun pada pH 4-6,5, pada kisaran pH tersebut jumlah tiram yang normal hanya sekitar 10 %.

3.5. Pakan Hidup
Pakan merupakan salah satu faktor penentu di dalam keberhasilan kegiatan pembenihan tiram mutiara. Ketersediaan pakan yang tepat waktu, jumlah dan jenis akan sangat mendukung sukses produksi massal spat. Pakan utama yang biasa diberikan pada tiram mutiara yaitu jenis falgelata, berukuran kurang dari 10 mikron. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/Monochrysis lutheri, Chormulina sp, Chaetoceros sp, Nannochloropsis sp, dan Dicrateria. Untuk fase pertumbuhan samapi menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton falgelata yang paling penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana (Klas:Haptophyceae) dengan ukuran sekitar 7 µm. Adakalanya digunakan jenis Tetracelmis tetrathele dan hlorella sp, terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Alagarsuwami et al. 1987, Winanto et al. 2001, Winanto, 2004). Menurut Martinez-Fernandez (2004) beberapa jenis mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain nannochloris sp, Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Chaeticeros meulleri, chaetoceros calcitran, tetracelmis tetrathele dan Tetracelmis suecica.
Preferensi larva terhadap pakan sangat tergantung pada ukuran dan spesies, masing-masing jenis tiram mempunyai kemampuan berbeda-beda dalam memilah dan mengambil makanan yang disukai. Pada prinsipnya, mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva tiram atau organisme laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis

Mengentaskan Kemiskinanan Masyarakat Peisisir

Peningkatan populasi penduduk diikuti oleh peningkatan kebutuhan masyarakat di wilayah pesisir seolah menjadi fenomena klasik yang ada hingga saat ini. Kondisi ini menggugah pemerintah sebagai penanggung jawab utama untuk peningkatan kesejahteraan nelayan telah dilakukan. Berbagai program, proyek dan kegiatan telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan nelayan dari kemiskinan. Namun jumlah nelayan kecil yang miskin tetap bertambah. Desa-desa pesisir semakin hari semakin luas areanya dan banyak jumlahnya. Karena itu meskipun banyak upaya telah dilakukan, umumnya bisa dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang memuaskan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan yaitu motorisasi armada nelayan skala kecil adalah program yang dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas. Namun ternyata motorisasi armada ini banyak gagal karena tidak tepat sasaran karena dimanipulasi oleh aparat dan elit demi untuk kepentingan mereka dan bukannya untuk kepentingan nelayan. Selain itu dilaksanakan juga program besar lain yang dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah pembangunan prasarana perikanan, khususnya pelabuhan perikanan berbagai tipe dan ukuran di seluruh Indonesia.
Disamping itu telah dilakukan juga upaya-upaya lain misalnya berhubungan dengan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup. Pembuatan karang buatan, penanam kembali hutan bakau, konservasi kawasan laut dan jenis ikan tertentu, serta penegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun, dan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan adalah program-program pembangunan yang secara tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan nelayan.
Keseluruhan program dan pendekatan yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan mengentaskan mereka dari kemiskinan seperti yang diuraikan diatas, seperti membuang garam ke laut. Tiada bekas dan dampak yang berarti. Kalau demikian maka sebetulnya ada sesuatu yang salah dari program-program tersebut. Atau apa yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi ada kebutuhan lain yang sebetulnya merupakan kunci pokok permasalahan. Bila hal tersebut bisa dipecahkan dan ada program-program pembangunan ke arah itu, barangkali saja pendapatan nelayan sebagai komponen utama masyarakat pesisir dapat ditingkatkan dan masalah kemiskinan bisa diminimalkan. Menurut saya kebutuhan lain yang selama ini tidak dipenuhi yaitu kurang dilibatkannya masyarakat pesisir dalam pembangunan. Keterlibatan yang dimaksudkan di sini adalah keterlibatan secara total dalam semua aspek program pembangunan yang menyangkut diri mereka, yaitu sejak perencanaan program, pelaksanaannya, evaluasinya, serta perelevansiannya. Dengan kata lain, kekurangan yang dimiliki selama ini yaitu tidak atau kurang partisipasi masyarakat dalam pembangunan diri mereka sendiri. Padahal partisipasi itu begitu perlu karena bagaimanapun juga, dan dengan dengan segala jenis upaya, tidak ada seorang miskinpun yang bisa keluar dari kemiskinannya dengan bantuan orang lain, bila dia tidak membantu dirinya sendiri. Program pemberdayaan masyarakat telah menjadi mainstream upaya peningkatan kesejahteraan serta pengengentasan kemiskinan. Dengan pemberdayaan masyarakat maka pembangunan tidak mulai dari titik nadir, tetapi berawal dari sesuatu yang sudah ada pada masyarakat. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki oleh masyarakat adalah sumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakat sendiri.
Beberapa pendekatan yang bisa dilakukan adalah: (1) Mengembangkan mata pencaharian alternatif. Pengembangan mata pencaharian alternatif dilaksanakan dengan pertimbangan bahwa sumber-daya pesisir secara umum dan perikanan tangkap secara khusus telah banyak mengalami tekanan dan degradasi.. Malahan secara nasional, tampaknya jumlah nelayan juga sudah berlebihan. Potensi ikan laut yang tersedia, kalau memang benar estimasinya, sudah tidak mampu dijadikan andalan bagi peningkatan kesejahteraan. Pengembangan mata pencaharian alternatif ini diarahkan untuk mengalihkan profesi nelayan atau sebagai tambahan pendapatan. Dengan kata lain, perlu dilakukan pemberdayaan bukan hanya untuk nelayan tetapi juga untuk anggota keluarganya, teristimewa istri atau perempuan nelayan yang memang besar potensinya. Pengembangan mata pencaharian alternatif bukan saja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan, pemasaran, atau budidaya ikan, tetapi patut diarahkan ke kegiatan non-perikanan. (2) Mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri. Strategi ini sangat penting karena pada dasarnya saat ini masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan sangat sulit untuk memperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yang musiman, ketidakpastian serta resiko tinggi sering menjadi alasan keengganan bank menyediakan modal bagi bisnis ini. (3) Mendekatkan masyarakat dengan pasar. Pasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi salah kendala utama bila pasar tidak berkembang. Karena itu maka membuka akses pasar adalah cara untuk mengembangkan usaha karena bila tidak ada pasar maka usaha sangat terhambat perkembangannya. (4) Membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Pemberdayaan melalui pengembangan aksi kolektif sama artinya dengan pengembangan koperasi atau kelompok usaha bersama. Hanya di sini istilah yang digunakan adalah aksi kolektif yaitu untuk membuka kesempatan kepada masyarakat membentuk kelompok-kelompok yang diinginkannya yang tidak semata-mata koperasi atau kelompok usaha bersama. Aksi kolektif merupakan suatu aksi bersama yang bermuara pada kesejahteraan setiap anggota secara individu.
Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat.
Dengan beberapa pendekatan dengan lebih mengarah pada pemberdayaan masyarakat pesisir sendiri niscaya kemiskinan bisa diatasi. Dengan demikian fenomena yang terjadi di wilayah pesisir dimana kemiskinan merajalelah akan segera diatasi.

CARA BERPIKIR DAN CARA BEKERJA YANG BENAR

“Kemiskinan tidak pernah mendarat dari langit, tetapi mengudara dari struktur yang membatu di bumi”.....


Mengapa penting bagi kita untuk memiliki dan mempraktekkan cara berpikir dan cara bekerja yang benar ?
Cara berpikir yang benar akan menjadikan kita mampu untuk mengerti dan memahami kebenaran dari kenyataan. Demikian pula cara berpikir yang benar akan membuat kita mampu memiliki panduan bekerja yang tepat sehingga pada akhirnya dapat bekerja dengan benar. Karena cara berpikir kita yang salah selama ini, seringkali kita tidak dapat memahami secara sebenar-benarnya kenyataan dari persoalan yang dihadapi. Misalnya, cara berpikir yang banyak menghinggapi kalangan kaum tani bahwa penderitaan dan kemiskinan mereka selama ini sudah merupakan nasib atau takdir yang tidak dapat dirubah. Cara berpikir ini telah membuat kaum tani tidak dapat melihat dengan sebenar-benarnya bahwa ada sebab-sebab konkret yang mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan mereka yaitu penindasan imperialisme dan feodalisme. Sehingga pada prakteknya sebagian besar kaum tani belum terdorong untuk bergerak dan mengorganisasikan diri guna menghancurkan sebab-sebab penderitaan dan kemiskinan mereka.

Cara berpikir yang benar juga akan menjadikan kita mampu untuk membongkar realitas atau kenyataan yang sesungguhnya. Di kalangan klas buruh banyak terdapat pemikiran bahwa pengusaha atau pemilik pabrik lah yang memiliki peranan lebih penting dan menentukan karena merekalah yang memiliki modal dan mesin-mesin produksi. Sehingga dengan demikian menjadi wajar kalau pengusaha mendapat bagian keuntungan yang jauh lebih besar daripada apa yang didapat oleh buruh dalam bentuk gaji atau upah. Oleh karenanya, buruh juga tidak boleh untuk menuntut macam-macam seperti kenaikan upah buruh atau kebebasan berorganisasi. Cara berpikir seperti ini telah membuat sebagian besar buruh tidak memiliki kesadaran bahwa tenaga kerja merekalah yang sebenarnya memiliki peranan menentukan bagi gerak roda produksi di pabrik. Tanpa tenaga kerja buruh, maka pabrik akan berhenti berproduksi. Dan sebenarnya, pemilikan alat produksi secara perseorangan oleh pengusaha lah yang menjadi sumber penindasan terhadap buruh.

Apa tujuan utama kita berpikir dengan benar ?
Apakah cukup untuk dapat memahami dan mengerti tentang kenyataan sosial yang ada di sekeliling kita, sehingga kita dapat menerangkan apa yang terjadi ? Tentu saja hal tersebut tidaklah cukup. Berpikir benar memang akan membuat kita mengetahui dan mengerti keadaan atau kenyataan sosial. Tetapi lebih penting dari itu adalah agar kita memiliki panduan bergerak, panduan bekerja untuk merubah keadaan sosial tersebut ke arah yang lebih baik dan maju. Kita tidak hanya cukup mengerti tentang adanya penindasan kaum tani oleh praktek tengkulakisme di desa. Pada saat yang bersamaan kita juga harus mendidik kaum tani tentang penindasan yang mereka alami dari para tengkulak, dan kemudian mendorong terbentuknya koperasi-koperasi kaum tani baik koperasi produksi, konsumsi maupun simpan pinjam. Sehingga dengan demikian kaum tani secara bertahap dapat dilepaskan dari penindasan tengkulak.

Lalu apakah yang menentukan kesadaran sosial seseorang?
Kesadaran sosial seseorang ditentukan oleh keadaan sosialnya. Seorang pengusaha atau kapitalis akan selalu berpikir bagaimana memperbesar keuntungannya karena keadaan sosialnya sebagai pemilik modal dan alat produksi. Demikian juga seorang tuan tanah akan berpikir bagaimana mempertahankan kepemilikan tanahnya yang luas dan mendapatkan keuntungan dari situ, sekalipun harus dengan menindas kaum tani. Kaum tani pada umumnya memiliki keadaan sosial yang berbeda dengan buruh. Keadaan sosial kaum tani adalah bekerja secara perseorangan atau individual. Asalkan ada tanah yang dapat digarap entah yang dimiliki sendiri atau melalui sistem sewa dan dengan alat kerja sederhana seperti cangkul dan arit, seorang petani sudah dapat bekerja dan berproduksi. Hal ini berakibat pada kesadaran sosial kaum tani tentang pentingnya berorganisasi sangat rendah, karena mereka terdidik untuk bekerja sendiri atau secara perseorangan. Sementara buruh harus bekerja secara kolektif dan tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Dalam sebuah perusahaan yang terdiri dari banyak bagian, seperti bagian produksi, bagian pengepakan dan bagian distribusi atau pemasaran, jika ada sebuah bagian yang tidak berjalan maka akan mengganggu aktivitas perusahaan. Sehingga mau tidak mau antar bagian dan antar buruh haruslah bekerja sama. Keadaan sosial tersebutlah yang mendidik buruh untuk bekerja secara kolektif . Sehingga tidak mengherankan kalau dalam banyak praktek, kesadaran berorganisasi buruh lebih tinggi di banding kaum tani.

Dari mana kemudian datangnya pikiran yang benar ?
Pikiran yang benar tidak datang secara tiba-tiba atau jatuh dari langit. Tidak mungkin seseorang duduk bertapa atau menyendiri di sebuah tempat yang sepi dan tiba-tiba mendapat pikiran yang benar. Demikian juga pikiran yang benar tidaklah tersimpan dari dahulu kala di dalam otak. Hanya orang-orang yang menganut pikiran idealis lah yang berpikiran seperti itu. Pikiran yang benar hanya berasal dari praktek sosial manusia yaitu praktek produksi, praktek perjuangan klas dan percobaan ilmiah. Seorang petani memperoleh pikiran yang benar tentang produksi pertanian yang maju, hanya setelah dia melakukan praktek selama beberapa waktu tentang pengolahan tanah, pembenihan, perawatan tanaman dan pemanenan. Dari praktek tersebutlah, ia dapat semakin memperbaiki teknik pertaniannya sehingga mendapatkan hasil produksi yang lebih baik dan besar. Demikian juga kita tidak akan mendapatkan pikiran yang benar tentang bagaimana perjuangan kaum tani dilancarkan tanpa terlibat langsung di dalamnya. Tanpa terlibat langsung dalam perjuangan kaum tani, maka kita tidak akan dapat mengerti tentang persoalan kaum tani, siapa musuh-musuhnya dan bagaimana menghancurkannya. Dari pengalaman dan praktek tersebut lah , kita akan dapat mengerti tentang kelemahan-kelemahan yang ada dan berupaya untuk terus-menerus menyempurnakannya dari waktu ke waktu.

Bagaimana juga dengan pengetahuan?
Pengetahuan manusia juga berasal dari praktek sosial. Prakteklah yang menciptakan atau melahirkan pengetahuan. Dan praktek juga yang kemudian akan menguji apakah pengetahuan yang kita miliki adalah benar dan ilmiah. Oleh karenanya, praktek menempati posisi atau kedudukan yang primer. Sehingga pengetahuan teoritik yang kita miliki juga harus ditujukan untuk melayani praktek. Pengetahuan ada dua tingkat. Tingkat yang pertama adalah pengetahuan sensasional. Pengetahuan sensasional adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sifatnya baru di permukaan, bentuk atau gejala. Tingkat yang kedua adalah pengetahuan rasional. Pengetahuan rasional sudah bersifat dalam, mengenai isinya dan hakekatnya. Misalnya ketika kita baru datang ke sebuah desa, kita melihat sebagian besar penduduk desa adalah petani yang kondisi tempat tinggalnya sangat jelek dan sebagian besar anak-anaknya tidak bersekolah. Pemahaman kita tersebut baru merupakan pengetahuan yang sifatnya permukaan karena lebih didasarkan apa yang dapat kita lihat, dengar dan rasakan. Setelah kita tinggal lebih lama di desa tersebut dan melakukan penyelidikan sosial, maka kita dapat mengetahui lebih mendalam bahwa kemiskinan kaum tani desa tersebut dikarenakan sebagian besar dari mereka tidak memiliki tanah atau terlibat dalam sistem sewa dan bagi hasil yang kurang adil serta terjerat utang oleh rentenir dan ditindas tengkulak. Pengetahuan yang lebih mendalam tersebutlah yang dinamakan sebagai pengetahuan rasional. Tapi untuk sampai pada pengetahuan yang rasional, seseorang harus melewati dulu tahapan pengetahuan sensasional dan tidak bisa meloncat langsung memperoleh pengetahuan rasional. Demikian juga kita tidak boleh hanya berhenti pada pengetahuan sensasional, tetapi harus ditingkatkan menjadi pengetahuan rasional. Tapi proses pengetahuan juga tidak berhenti hanya setelah sampai pada tercapainya pengetahuan rasional. Karena kemudian masih harus diuji kebenarannya di dalam praktek konkret. Setelah mengetahui bahwa kemiskinan kaum tani di desa tersebut disebabkan oleh sistem bagi hasil yang kurang adil, maka kita berusaha mendorong praktek bagi hasil yang adil. Dan dari situ kita akan melihat apakah ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan petani.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan cara berpikir yang benar ?
Cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang sesuai dengan kenyataan konkret. Tidak berpikir sesuai dengan keinginan atau pikiran kita sendiri yang sifatnya subyektif. Karena pada dasarnya ide atau pikiran berasal dari materi atau kenyataan. Ada beberapa prinsip yang penting dan menjadi dasar dalam berpikir secara benar, yaitu :
Antara satu hal dengan hal yang lainnya memiliki saling hubungan yang konkret. Untuk dapat memahami dan mengerti tentang sesuatu hal tidak bisa dipisahkan dari saling hubungannya dengan hal-hal lain di sekitarnya. Agar dapat memahami persoalan kaum tani dengan sebaik-baiknya, maka kita harus melihat saling hubungannya dengan kebijakan negara, saling hubungannya dengan imperialisme, saling hubungannya dengan keberadaan tuan tanah, saling hubungannya dengan persoalan buruh dan sebagainya.
Segala sesuatu selalu dalam keadaan berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini berarti bahwa segala sesuatu tidak dalam keadaan yang selalu sama dan tetap. Seperti misalnya diri kita juga senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan dari mulai lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa berkeluarga, masa tua dan pada akhirnya mati. Demikian pula organisasi tani yang saat ini kecil dan lemah tentunya akan berkembang menjadi kuat dan besar.
Perubahan atau perkembangan bergerak ke arah yang lebih maju dan bersegi hari depan. Perkembangan tidak pernah bergerak mundur tetapi maju dan berpihak pada yang bersegi hari depan. Sistem yang menindas kaum tani yaitu imperialisme dan feodalisme adalah sistem yang sudah usang dan sekarat. Karena sistem tersebut mengakibatkan penindasan dan kemiskinan, dan kaum tani sudah tidak menghendakinya serta selalu bangkit melakukan perlawanan. Hal ini tentunya bertentangan dengan pikiran musuh-musuh rakyat bahwa segala sesuatu adalah tetap dan tidak berubah sehingga sistem yang menindas rakyat akan terus bertahan dan tetap.
Perubahan atau perkembangan segala sesuatu ditentukan oleh faktor dalam atau kekuatan internal. Hal ini bertentangan dengan pikiran metafisis bahwa perubahan lebih ditentukan oleh faktor luar. Sebuah telor berubah menjadi anak ayam lebih ditentukan oleh pergerakan unsur-unsur kehidupan yang ada di dalam putih dan kuning telor. Sementara suhu atau panas luar baik berupa panas alami dari tubuh induk ayam maupun panas buatan seperti listrik lebih bersifat mempengaruhi atau membantu menetasnya anak ayam. Kebenaran kesimpulan tersebut dibuktikan ketika sebuah batu dierami oleh induk ayam atau diberi panas buatan, maka tidak dpat menetas menjadi anak ayam. Demikan juga perjuangan kaum tani lebih ditentukan oleh kekuatan internal kaum tani sendiri. Jika kaum tani tidak mau untuk bangkit, bergerak dan berorganisasi, maka perjuangan kaum tani akan lemah dan kecil. Kehadiran faktor luar seperti aktivis mahasiswa, pemuda dan buruh lebih merupakan faktor yang mendukung pembangunan kekuatan kaum tani.

Bagaimanakah agar kita dapat memiliki cara berpikir yang benar ?
Untuk dapat memiliki cara berpikir yang benar, maka kita dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
Terlibat langsung dalam praktek sosial. Jika kita ingin memiliki pikiran yang benar tentang persoalan kaum tani, maka kita harus terlibat langsung dalam kehidupan dan perjuangan kaum tani. Karena tanpa itu, maka kita tidak akan dapat merasakan sungguh-sungguh suka duka dan persoalan kaum tani. Demikian juga jika kita ingin memiliki pikiran yang benar tentang perjuangan kaum tani, maka kita juga harus terlibat langsung dalam perjuangan kaum tani.
Membangun tradisi penyelidikan sosial. Jika kita ingin memiliki pikiran yang benar tentang kenyataan maka kita harus mau untuk menyelidiki keadaan sosial yang ada. Jangan sampai kita mengeluarkan banyak pernyataan dan pikiran tanpa terlebih dulu mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan organisasi tani di pedesaan, maka kita tidak boleh segan-segan ke desa melakukan penyelidikan sosial tentang organisasi tani.
Membiasakan diri untuk berpikir hati-hati dan dari banyak segi tentang segala sesuatu. Pepatah lama mengatakan sekali kening berkerut, timbullah kebijaksanaan. Jika kita ingin mengetahui sesuatu dengan benar dan tepat, maka harus memikirkan dengan hati-hati dan tidak dengan serba terburu-buru. Kita harus mampu untuk menganalisis sebuah persoalan secara mendalam dari banyak segi dan saling hubungannya dengan persoalan lain. Dengan demikian kita dapat secara persis mengetahui sebab-sebab mendasar dari persoalan tersebut dan merumuskan jalan keluarnya.

Bagaimanakah juga agar kita dapat bekerja dengan benar?
Segala keputusan dan pekerjaan kita haruslah didasarkan pada kondisi konkret. Tanpa itu, maka apa yang kita pustuskan dan kita lakukan akan menemui kegagalan. Keberhasilan melakukan pekerjaan banyak ditentukan sejauh mana saling hubungannya dengan kondisi konkret atau nyata. Misalnya, perjuangan mendapatkan lahan garapan bagi kaum tani di pinggiran hutan akan ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesadaran kaum tani dan kekuatan organisasi massa taninya. Apabila dalam keadaan kesadaran kaum tani yang masih rendah dan kekuatan organisasi massa tani yang kecil dan lemah, dengan terburu-buru kita melancarakan perjuangan penguasaan dan penggarapan lahan hutan milik Perhutani, maka dapat dipastikan perjuangan tersebut akan sulit bahkan gagal dilaksanakan. Baik karena kurang mendapatkan respon dan dukungan yang antusias dari kaum tani sendiri atau disebabkan oleh tekanan dan serangan dari pihak Perhutani. Berbeda kondisinya, ketika kesadaran dan kekuatan organisasi massa tani sudah tinggi dan kuat, maka perjuangan penguasaan lahan Perhutani akan mendapatkan dukungan luas dari kaum tani dan tahan banting menghadapi pukulan dari pihak musuh.

Demikian juga peranan keteladanan dalam melakukan pekerjaan sangat dibutuhkan agar mencapai keberhasilan. Dalam perjuangan mendapatkan lahan garapan hutan, maka keteladanan sebuah desa yang kaum taninya telah tinggi kesadarannya, dan organisasi massanya kuat, untuk membuka lahan dan menggarapnya akan mempengaruhi dan menyebabkan desa-desa lain di sekitarnya mengikuti atau menirunya. Keteladanan akan menumbuhkan keberanian, mengusir rasa takut dan ragu-ragu, serta memberikan contoh konkret yang dapat dilihat hasilnya secara konkret juga.

Neoliberalisme Dunia Pendidikan: Otonomi Kampus dan Sekolah

1.Menelanjangi Otonomi Sekolah dan Kampus: Pemotongan Subsidi Pendidikan
Menyoroti berbagai persoalan tentang sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat. Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.

1.1.Komersialisasi Pendidikan Semasa Orde Baru
Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.
Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada.
Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!
Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini.
Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.
“Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda . Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.
Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.
Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600.
Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan tetapi, benarkah argumen ini?
Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.

1.2.Anggaran Pendidikan dan Subsidi Pendidikan
Semasa Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan 20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69 persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974 .
Anggaran pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah.
Sebelumnya, untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah. Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000 rupiah dari 450.000 rupiah . Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.
Lucunya, setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah, diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.

2.Otonomi Sekolah dan Kampus: Antara Konsep dan Dampak
Konsep yang berlaku dalam otonomi pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya. Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.
Otonomi pendidikan ini juga sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.
Namun tak semua provinsi dan kabupaten seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.

2.1.Memperbesar Peran Birokrasi Kampus dan Sekolah untuk Menyediakan Dana

Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi
Pertama, otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah bisa mencapai tingkat kemakmuran.
Mari kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya. Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan, sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia, ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.
Yang tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa, dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional . Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.
Jika begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kedua, otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa. Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan dana adalah menaikkan iuran sekolah.
2.2. Kampus sebagai Pusat Bisnis Riset IPTEK
Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.
Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika person-personnya terlibat KKN.
Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan mayoritas masyarakat.
Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1, terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.

2.3.Pola Subsidi Pendidikan

Konsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan (block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar tertentu.
Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya. Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan ke kampus A tersebut.
Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.

2.4. Pengaruh Korporat di dalam Sekolah dan Kampus

Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri.
Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam memberikan pendidikan kepada peserta didiknya.
Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah federal, Expert Panel on the Commercialization of University Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University adalah para pengusaha besar di Montreal . Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset minuman dingin.
2.5. Dampak Utama: Naiknya Biaya SPP
Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi pendidikan akan selalu diikuti oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko, membuktikan gratisnya (sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen persemester, sehingga dapat dikatakan gratis) pendidikan tidak berarti buruknya fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268000 orang, memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya SPP dinaikkan hingga US$ 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko. Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk merebut kembali kampus .
Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000 kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah. Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka beberapa tahun.
***
Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.

Privatisasi = Otonomi Kampus ?

Pendidikan dan Hegemoni Budaya Kapitalisme
Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan empat PTN yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri.
Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual.
Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi kaum buruh menuntut hak-haknya, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat.
Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa. Baru-baru ini di Iran demo mahasiswa pro-demokrasi ditindas dengan brutal oleh polisi dan tentara pengawal revolusi. Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanahnya. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 144 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri.
Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi. Di bangku SD hingga SLTA diajarkan indoktrinasi nasionalisme-chauvinistik melalui pelajaran PSPB. Pelajaran sejarah, kita tahu persis hanya mengikuti versi pemerintah. Banyak fakta-fakta sejarah yang disembunyikan.


Privatisasi bukan Berarti Otonomi Kampus

Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan.
Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.
Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil.
Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan.
Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (serikat mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan).