Mayoritas Di Atas Minoritas

Hal yang paling prinsip dalam menjalankan Demokrasi Kerakyatan adalah tetap menjaga demokrasi sebagai alat kepentingan seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk semua orang, namun perwujudan yang paling logis dari seluruh masyarakat adalah bagian mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Contohnya, ketika dalam pengaturan upah kita dapat lihat bahwa dengan mata telanjang kebutuhan mayoritas rakyat (kaum buruh) disetarakan dengan kerakusan para pemilik modal dalam negosiasi-negosiasi tertutup di dalam gedung parlemen.

Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat. Jadi dalam demokrasi kerakyatan, keputusan diambil berdasarkan kehendak dan kebutuhan mayoritas dan ini secara nyata. Bukan sebatas pengambilan suara saja, tetapi proses diskusi, perdebatan, dan akhirnya penalaran haruslah diadakan di permusyawaratan rakyat terkecil. Bentuk-bentuk pemilihan umum dan parlemen seperti sekarang (sebatas pengambilan suara) adalah penghambat dari kekuasaan mayoritas rakyat, karena justru menjebak mayoritas ke dalam perintah-perintah minoritas.

Namun, demi menjamin kesalahan seperti itu, kebebasan pendapat dan berekspresi harus dijamin, selama kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menipu dan menindas mayoritas rakyat ataupun menghancurkan kekuasaan mayoritas. Tentu saja pelarangan tersebut dan pengadilan terhadap pelanggarannya juga harus melalui permusyawaratan-permusyawaratan rakyat.

Kamis, 12 Mei 2011

Manajemen Pers dan Implementasinya

Tidak ada satu pun yang dapat mematikan kemauan untuk bekerja lebih hebat daripada merenungkan seluruh pekerjaan itu ketika kita melakukannya dalam situasi yang sulit dan di bawah tekanan.
(Eric Maisel)

SEJAK UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik dimunculkan, kebebasan pers di Tanah Air kian terasakan. Terutama jika mencermati bunyi Pasal 9 Ayat (1): “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.” Implikasi dari pasal tersebut, direspon oleh Menpen Yunus Yosfiah (waktu itu) untuk membebaskan perusahaan pers dari SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Dampak paling nyata dari kebebasan pers ialah munculnya penerbitan koran, majalah, dan tabloid baru. Baik yang bersifat populer maupun serius, sama-sama memiliki keinginan untuk terbit dan eksis. Oleh karena itu, dari segi kuantitas jumlah media di Indonesia makin beragam dan variatif. Hal itu juga terasakan di ranah kampus melalui penerbitan majalah dan jurnal ilmiah, baik yang dikelola dosen maupun mahasiswa.
Namun, kemunculan penerbitan yang beragam dan variatif itu ternyata tidak otomatis mampu mendongkrak kualitas penerbitan. Ada kalanya sebuah penerbitan di edisi awal dilakukan dengan kerja keras. Di sisi lain, ada pula penerbitan yang mengalami gulung tikar alias bangkrut. Untuk itulah, dalam konteks saat ini para pengelola penerbitan harus segera berbenah diri guna meningkatkan mutu penerbitan medianya masing-masing.
Ada argumen, sukses-tidaknya penerbitan amat bergantung dari jumlah iklan yang termuat. Argumen lain justru mengatakan, bergantung dari tinggi-rendahnya mutu SDM. Jika boleh berpendapat, keduanya amat benar. Artinya, baik iklan maupun SDM sama-sama penting untuk diperhatikan sekaligus ditingkatkan. Dengan demikian, paling tidak ada tiga faktor yang perlu diulas kaitannya dengan manajemen penerbitan pers.
Ketiga faktor tersebut ialah redaksi, perusahaan, dan sirkulasi. Ketiganya memegang peran dalam kerja-kerja penerbitan media secara profesional. Jika ketiganya berperan tidak optimal, kelak mutu penerbitan akan kurang bagus. Selain itu, kinerja pengelola tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Untuk itulah, ketiganya perlu terus dibenahi. Mudahnya kita istilahkan dengan departemen editorial, usaha/advertensi, dan sirkulasi.
Departemen Editorial
Departemen ini memiliki fungsi, yaitu mengumpulkan berita atau bahan tulisan lain berupa opini, gambar, data, dsb. Singkatnya, menyinggung soal kerja para wartawan dan redaktur surat kabar. Jika merujuk UU No 40/1999, khususnya Bab I, kita akan ketahui bahwa wartawan ialah “orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
Adapun kegiatan jurnalistik, jika merujuk lagi dari UU No 40/1999, khususnya Bab I ialah “…meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dalam UU No 40/1999, Bab III Pasal 7 Ayat (1) dan (2), kita bisa mengetahui sosok wartawan yang sesungguhnya. Bahwa wartawan itu, “bebas memilih organisasi wartawan”, dan “memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.” Adapun Kode Etik Jurnalistik yang dimaksud ialah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Ada dua bentuk yang dikenal selama ini, yaitu Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Di samping itu, sesuai bunyi Pasal 8 UU No 40/1999, bahwa profesi “wartawan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari mendapat perlindungan hukum.” Adapun “perlindungan hukum” ialah jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan begitu, dalam menjalankan tugasnya wartawan akan merasa aman dan nyaman.
Lazimnya, departemen ini dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi (disingkat Pemred). Tanggung jawab pemimpin ini sangat dominan. Jabatan ini biasanya diduduki oleh wartawan senior yang mampu bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koreksi. Secara hukum, posisi pemred akan bisa leluasa jika harus memindahkan pertanggungjawabannya kepada anggota redaksi dan pihak lainnya.
Berikut ini susunan departemen editorial.


Departemen Mekanik

Departemen ini bertugas membantu departemen editorial. Berita dan bahan tulisan lain dikirimkan ke komputer operator dan diserahkan ke bagian percetakan. Tugas percetakan ialah menggandakan semua bahan yang sudah diramu dan diracik bagian redaksi dan tata letak. Departemen ini dipimpin oleh pemimpin percetakan. Oleh karena itu, pemimpin bagian ini kudu paham mengenai jenis kertas, tinta, film, plate, dan sebagainya.
Departemen Usaha
Guna menjalankan kedua departemen di atas, maka (1) halaman iklan harus dijual ke publik/umum, (2) pembeli harus dicari dan dikejar, (3) koran dan majalah harus dikelola secara profesional, dan oleh karenanya ini merupakan tugas dari departemen usaha. Departemen ini memiliki fungsi utama, yaitu mengatur bisnis penerbitan, pemasaran, dan pengelolaan keuangan. Bila dikelola baik, kelak departemen justru akan mendukung dua departemen sebelumnya.
Dalam UU No 40/1999, khususnya Bab II Pasal 3 Ayat (2), “pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.” Maksudnya, perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Dengan begitu, profesionalisme pengelolaan keuangan menjadi suatu tuntutan yang harus dilaksanakan oleh tiap-tiap perusahaan pers.
Selain Pasal 3 Ayat (2), pers nasional juga diharapkan sesuai Pasal 10, yaitu “…memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Adapun maksud “bentuk kesejahteraan lainnya” ialah peningkatan gaji, bonus, dan lain-lain. Pemberian tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Departemen Sirkulasi
Departemen ini bertujuan untuk mendistribusikan media (koran, majalah, tabloid, dsb) kepada pembaca secara ajeg (kontinu) dan area yang telah ditentukan. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi penerbitan media/pers tanpa pembaca, tentu tidak akan berjalan secara optimal. Untuk itulah, penanganan yang bisa dilakukan ialah pembentukan biro-biro penerbitan di tiap-tiap daerah kabupaten/kotamadya.
Misalnya, harian Jawa Pos yang sudah memiliki beberapa biro daerah (Radar Jogja, Radar Solo, Radar Magelang, dsb). Demikian pula dengan harian Republika dan Kompas. Kedua media massa nasional itu juga memiliki biro daerah, di antaranya Biro DI Yogyakarta dan Biro Semarang. Diharapkan, dengan didirikannya biro tersebut akan memudahkan sirkulasi media ke pembaca, atau dari penerbitan pusat (Jakarta) ke daerah-daerah lainnya.
Kendala Penerbitan Media Berbasis Kampus/Lembaga Pendidikan
Menurut Suroso (2003), ada beberapa kendala dalam pengelolaan penerbitan media kampus. Di antaranya, yang menyangkut (a) SDM, (b) pendanaan, dan (c) sirkulasi. Guna menyiasatinya, pengelola penerbitan media kampus harus bisa memilih jenis majalah/jurnal yang sesuai dengan pasar pembaca. Tentu saja, pembaca yang dibidik ialah pembaca yang sesuai dengan visi dan misi yang telah disepakati.
Beberapa kendala tersebut di antaranya ialah:
1.Belum terciptanya deskripsi kerja berdasarkan tugas keredaksian, usaha, dan sirkulasi. Pembiayaan penerbitan media biasanya dari dana kampus, para pengelola bertugas secara serabutan (bisa kerja di manapun), dan waktu penerbitan yang tidak ajeg (kontinu)
2.Topik-topik yang dipilih kurang menarik dan tampilan fisik media juga kurang bagus. Hal itu disebabkan oleh minimnya dana dan terbatasnya pengetahuan para pengelola (misalnya, penyunting, penata grafis, dan tata letak).
3.Kurangnya pasokan naskah yang akan diterbitkan. Hal ini bisa disiasati dengan memesan naskah ke pakar/ahli, mengadakan bank naskah, baik yang asli maupun terjemahan, atau “memaksa” redaktur untuk menulis.
4.Terbatasnya ruang sirkulasi dan kurang diminati oleh para pembaca. Hal ini bisa diatasi dengan mengubah orientasi penyajian topik-topik non-kampus sehingga pihak lain akan dapat menerimanya.

Catatan Penutup

Setelah mencermati hal di atas, kiranya kita ambil kesimpulan bahwa penerbitan pers/media perlu dikelola secara profesional, tak terkecuali penerbitan berbasis kampus/lembaga pendidikan. Untuk itulah, paling tidak kita bisa membenahinya melalui (a) membuat deskripsi kerja yang jelas, terutama soal ranah keredaksian, (b) pemilihan topik-topik baru, menarik, kraetif, dan bisa dicerna oleh semua kalangan, (c) merangkul lembaga lain untuk menjadi founding. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar